Ratu Malam
Denting
bel bergema di bawah derasnya titik-titik air yang berjatuhan ke tanah. Saling
bertautan, namun cukup membuat denting bel itu teredam bersamanya. Samar-samar
namun pasti, terdengar bunyi derap langkah kaki seseorang. Langkah kaki itu cepat
dan terasa berat. Menimbulkan bercak-bercak tanah menempel di beberapa sisi rok
yang dikenakan. Kini, di depan gerbang sebuah sekolah tengah berdiri seorang
perempuan berperawakan oriental yang penuh dibasahi peluh bercampur air hujan.
~oOo~
Sejak
pertama kali memasuki kelas ini, mata Vero jatuh pada seseorang yang tengah
duduk di pojok belakang kelas. Terlihat seorang gadis berkacamata tengah duduk
sambil membaca sebuah buku tentang agronomi. Bukan karena buku yang ia baca,
namun karena sikapnya yang misterius membuat Vero penasaran dengannya.
Bayangkan saja, wanita itu tidak pernah sedikitpun beranjak dari tempat
duduknya sejak pertama kali Vero masuk ke kelas ini. Tindakannya yang selalu
membaca buku agronomi di saat jam apapun itu juga juga termasuk salah satu
alasan yang membuatnya terlihat aneh.
“Hei
anak baru—Veronica, tadi Bu Sitta bilang padaku agar menyuruhmu menemuinya di ruang guru sehabis pulang sekolah,”
seorang pria berpostur tinggi atau mungkin bisa dibilang paling tinggi di kelas
ini menghampiri Vero. Dia adalah ketua kelas Vero, Henry. Sebut saja Jerapah, panggilan kesayangan kelas ini
untuknya.
“Baiklah,
terima kasih,”
Begitu
pelajaran dimulai kembali, hal yang sama atau selalu dilakukan gadis
berkacamata itu kembali dilakukan. Ia membuka buku agronominya dan menutupinya
dengan buku cetak sejarah, mengingat sekarang pelajaran sejarah. Mata Vero
tertuju pada gadis itu lagi, ia heran walaupun gadis itu sering tidak menyimak
pelajaran yang diberikan nilainya selalu masuk ke dalam 10 peringkat atas di
sekolah. Bagi Vero, itu merupakan suatu keajaiban. Membuat dirinya masuk ke
dalam 50 peringkat di sekolah saja sudah susah payah, apalagi 10 besar. Ia
hanya bisa menggelengkan kepalanya dan berkhayal seandainya ia bisa masuk 10
peringkat atas, mungkin saja ia diberikan hadiah oleh ayahnya dan ia bisa makan semua makanan yang ia inginkan tanpa
perlu bersusah payah mengeluarkan sepeser duitpun dari kantongnya.
Tanpa
ia sadari, sebuah spidol meluncur dengan cepat ke arahnya dan dengan mulusnya
mendaratkan sebuah tanda merah di atas kening Vero. “AWW!!” dengan cepat
tangannya langsung mengusap-ngusap keningnya, semua orang di kelas melihat ke
arahnya, ada juga yang menertawakannya. “Uuh, memalukan,” gumamnya dengan suara
kecil.
“Sudah
bangun, nak?” suara berat keluar dari mulut pria paruh baya yang berdiri di
depan kelas.
“Maaf,
Pak saya melamun tadi,” seraya mengembalikan spidol yang tadi mengenainya
sebagai sasaran empuk.
“Lain
kali jangan diulangi lagi,”
“Baik,
Pak,”
Denting
bel terakhir berbunyi, semua orang berhamburan keluar kelas untuk menuju
rumahnya masing-masing dan lagi-lagi gadis berkacamata itu tidak beranjak
sedikitpun dari tempat duduknya. Satu lagi yang membuat Vero penasaran, ia
tidak pernah melihat gadis itu keluar dari kelas. Seperti sedang menunggu
sesuatu.
Perlahan
ia langkahkan kakinya keluar kelas sambil membawa tas bergambar emoticon di punggungnya. Seketika itu,
terlihat seseorang berlari dengan derap langkah yang terbilang cepat untuk di
dalam koridor. Lelaki itu lari begitu saja, seperti sedang dikejar-kejar oleh
sesuatu, dan sesuatu itu memang ada di belakangnya. Sang komandan Jerapah berlari lebih atau sangat cepat
mengejar lelaki di depannya. Paras wajahnya berkerut seolah memberikan kesan
sedang marah, namun lebih terlihat aneh. Dengan keadaan seperti itu ia terlihat
lebih cocok seperti macan yang sedang mengejar mangsanya
Saat
ia berlari melewati Vero terasa angin berhembus begitu cepat, diikuti dengan
teriakan yang berbunyi “Spartaa” mengiringi langkah kaki mereka. Semua berlalu
begitu cepat. Tanpa mengecilkan volume suaranya, Vero tertawa dengan cukup keras.
“Ahahahahahaha,
apa-apaan itu sparta,” ia tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan tersebut.
Itu juga merupakan salah satu alasan Henry disebut-sebut sebagai komandan tim
atletik. “Mengucapkan kata sparta dengan wajah seperti itu dan berlari secepat
itu, yang benar saja,” masih dalam keadaan tertawa ia lanjut berjalan menyusuri
koridor hingga sampai di depan ruangan guru.
Vero
berjalan masuk dan menghampiri Bu Sitta yang tengah sibuk mengurusi
kertas-kertas dokumen.
“Permisi,
Bu. Tadi ibu menyuruh Henry memanggil saya, ada apa?”
“Ah,
Vero akhirnya datang juga. Sudah ibu tunggu-tunggu. Ibu hanya meminta kau
menyelesaikan kepengurusan perpindahanmu yang belum sempat terselesaikan. Ini
ada beberapa dokumen yang perlu diisi sekarang juga, dan kamu bisa menulisnya
disini,” perintahnya seraya menyuruh Vero duduk di kursi yang ada di sampingnya.
“Ah
dan ini, rapotmu yang lama ibu simpan disini. Kamu juga tolong fotocopy
berkas-berkas lainnya yang telah ibu minta waktu lampau, apa sudah?”
“Oh
itu, saya bawa. Sebentar.”
Waktu
berjalan dengan begitu cepat, cukup lama Vero berdiam diri di ruangan guru
mengurusi segala sesuatu tentang kepindahannya ke sekolah ini. Tak hanya itu,
Bu Sitta juga menyuruhnya untuk membantu mengisi dokumen-dokumen yang ada,
cukup membuat tangannya pegal. Kemudian, ia berjalan menyusuri koridor kembali
menuju gerbang sekolah. Langit di luar sudah memancarkan cahaya purnama yang
begitu terang. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu sampai malam. Hal itu
membuatnya merasa tidak nyaman mengingat ia cukup takut dengan hal-hal yang
gelap dan berbau mistis.
Sebenarnya
ia cukup takut dan kesal mengharuskannya pulang larut malam. Apalagi untuk
sampai ke depan pintu gerbang sekolah ini ia harus melewati taman sekolah yang
cukup luas. Walaupun bukan hanya ia sendiri yang berada di sekolah ini
sekarang, perasaan takut tetap menghampirinya. Dengan cepat ia mengambil
langkah seribu. Tak peduli apapun di depannya, ia ingin cepat sampai gerbang,
naik angkutan umum, lalu menginjakkan kaki segera di rumahnya.
Namun,
di depannya terlihat sesosok siluet orang. Entah apa yang orang itu lakukan,
gerak geriknya terlihat tidak biasa. Pada bagian kanan tangannya, terdapat
sebuah sesuatu yang terlihat seperti pisau tergenggam erat. Seketika itu saja,
seluruh bulu Vero berdiri merinding. Ia tidak berani melewati orang tersebut,
namun hanya taman di depannya lah satu-satunya jalan menuju keluar. Ia
memberanikan diri berjalan ke depan, sembari membungkuk di samping semak-semak.
Berharap tidak ketahuan.
“Entah
kenapa sekolah ini menyeramkan walau baru jam segini, bagaimana tengah malam.
Aku tidak habis piker kenapa banyak yang membuat rumor tentang hantu di sini,”
gumamnya masih dalam posisi berjalan membungkuk. “Aku harus cepat-cepat keluar
sebelum tertangkap,” langkahnya semakin cepat.
Akhirnya
ia bisa lolos dari kepungan tanaman di belakangnya, kini gerbang sudah di depan mata. Dengan
segenap tenaga ia berlari melewati pos satpam. Sekilas ia melihat sebuah tas
Jansport berwarna biru jeans tergeletak di samping tempat pos satpam.
Sepertinya Pak Yunus, satpam sekolah ini tidak tahu ada tas disitu. Pria paruh
baya itu tertidur dengan pulasnya sambil memakai earphone. “Yang benar saja, bukannya menjaga malah tidur dengan
pulasnya. Tapi harus kuakui canggih juga satpam disini.”
Barulah
Vero ingat, ia pernah melihat tas itu di suatu tempat. Suatu tempat di pojok
bagian belakang.
“Ah!
Tentu saja, bagaimana aku bisa lupa,” tas yang selalu menemani gadis
berkacamata yang selalu dilihat olehnya tergeletak di sana. Mengapa tasnya di
sini?
“AH!
Jangan-jangan ia masih di dalam,” suatu pikiran terlintas di benaknya. Ia
mengingat sosok siluet bergenggamkan pisau masih berkeliaran di taman. Ingin
rasanya Vero berlari mencari gadis itu dan membawanya ke sini sebelum
terjadi sesuatu yang buruk. Tanpa banyak pikir ia berlari begitu saja untuk kembali ke
dalam. Tak peduli apapun itu, ia tidak ingin pikiran di otaknya benar-benar
terjadi.
Vero
mencari-cari sosok perempuan berkacamata di seluruh ruangan yang ia lewati,
tapi tak kunjung juga ditemukan. Sampai sebuah tangan tiba-tiba meraih
pundaknya.
“WAAHHH!
Si-siapa ituu?” Vero terlonjak kaget merasakan sebuah tangan di menyentuhnya. Bisa
saja ia segera berlari menghindar, tapi tangan itu menggenggamnya untuk
mencegahnya berlari. “Huwaa…lepaskan aku! Aku tidak salah apa-apa,” ia berusaha
melepaskan gengaman tangan itu.
“Te-tenang
ini aku, kau tidak perlu takut,” sosok pria berpostur tubuh tinggi kini berdiri
di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Henry.
“Ya-yang
benar saja, kukira siapa bikin kaget saja. Apa yang kau lakukan disini malam
hari?” Melihat sosok itu, perasaan lega menyelimuti tubuhnya. Entah apa jadinya
jika yang menangkapnya siluet orang tadi.
“Yah
sebenarnya tadi aku sedang mengikuti ujian susulan, mengingat waktu saat ujian
tidak masuk karena sakit. Dan sebenarnya tadi aku sudah pulang, tapi ada
sesuatu yang tertinggal mengharuskanku balik lagi ke sekolah,” ia menjelaskan
sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lalu
kau sendiri?” tanyanya balik.
Vero
kemudian menjelaskan apa yang ia lakukan tadi sampai kejadian yang baru saja ia
lihat di taman.
“Maksudmu
anak perempuan berkacamata yang tidak pernah keluar itu?” tanyanya lagi
penasaran.
“Ya,
dan sekarang aku sedang mencarinya sebelum semuanya terlambat,”
“Tapi
apa tidak terpikirkan olehmu, bisa saja itu hanya ibu kantin atau petugas taman
atau bisa saja guru di sini yang belum pulang? Pikiranmu terlalu liar,” Henry mencoba
meyakinkan Vero itu hanya kesalahpahaman belaka.
“Awalnya
aku berpikir seperti itu, tapi aku tetap tidak bisa tenang memikirkannya. Apalagi hanya dia sendiri yang masih berada hingga larut malam begini. Yah, aku khawatir saja jika terjadi sesuatu,”
perasaan tidak tenang menghampirinya lagi.
“Kalau
begitu aku ikut denganmu,” jawab Henry tiba-tiba. “Dan untuk pertama-tama kita
coba untuk melihat sekali lagi tempat dimana kamu melihat siluet tadi,” tanpa
menunggu jawaban Vero, ia berlari begitu saja meninggalkannya menuju arah
taman.
“He-hei,
aku belum bilang iya bukan?” tidak ada respon dari orang di depannya, “Arrgh,
tunggu akuu!” dengan terpaksa ia ikut berlari di belakangnya.
Mereka
berdua bersama-sama berlari menuju taman. Saat itu juga, Vero menghentikan
langkah kakinya ketika sudah sampai. Namun, tidak demikian dengan Henry. Ia
tidak menghentikan langkahnya sedikitpun, tanpa memikirkan apapun ia
berlari meninggalkan Vero yang terdiam mematung.
“Aku
hanya bilang akan ikut denganmu bukan? AKu tidak bilang akan ikut denganmu
mencarinya. Kalau begitu, sampai ketemu hari Senin,” jelasnya tiba-tiba sambil
berlari melambaikan tangannya menuju gerbang. Sosoknya kemudian menghilang
setelah berbelok ke arah kanan.
“AARRGGGHHHH!!”
Vero berdecak kesal dirinya terbodohi. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya
mempercayai perkataan sang komandan jerapah. Merasa hanya tinggal dirinya
sendiri di tengah taman, ia hanya bisa pasrah menunggu nasibnya. Hari sudah
semakin malam, semua guru sudah pulang hanya tinggal petugas kebersihan dan
satpam sajalah yang masih tinggal di sekolah ini. Lututnya lemas.
Bunyi
ranting bergesakan terdengar dari semak-semak di sebelahnya. Vero tak kuasa
menahan berat badannya yang semakin lemas. Ia jatuh terduduk begitu saja. Derap
langkah kaki terdengar dari balik semak-semak. Semakin keras suaranya,
menunjukkan langkah kaki orang itu semakin dekat menuju ke arahnya. Ia hanya
bisa pasrah dan berdoa untuk tidak terjadi kemungkinan yang terburuk. Semua ini salah Henry, dia meninggalkanku
sendirian. Awas saja nanti jika terjadi sesuatu denganku akan kuhantui dirimu
selamanya, umpatnya dalam hati. Ia tidak menyadari jika si sosok siluet sudah berdiri di belakangnya.
“Kamu,
anak baru itu kan?” Terdengar suara halus keluar dari mulut orang di belakang
Vero.
“Eh?”
Vero langsung membuka matanya yang tengah tertutp sejak tadi, dihadapkanlah
kepalanya ke belakang. Takjub dengan apa yang dilihat, ia menghela napas
penjang. Lega apa yang dilihatnya bukanlah sosok menyeramkan melainkan seorang
perempuan berkacamata. Sebuah kesalahpahaman kecil telah dibuat olehnya yang
terlalu takut dengan hantu sehingga berkhayal yang tidak-tidak.
“Sedang
apa? Kamu tadi terlihat seperti orang ketakutan,” tanya gadis itu.
“Eh..ah..itu,
tadi aku tidak sengaja mendengar gonggongan anjing. Kau tahu kan, itu
menyeramkan kalau terdengar di malam hari, makanya aku ketakutan,” Vero mencari-cari
alasan seakal mungkin. Tidak mungkin jika ia bilang bahwa ia ketakutan melihat
siluet orang bergenggamkan pisau mengejarnya yang tak lain adalah anak perempuan
yang selalu ia perhatikan. Kalau dilihat dari dekat ternyata gadis ini cukup
cantik juga, mungkin lebih terlihat babyface.
Bicara mengenai pisau, “Ah, apa yang kau genggam di tangan kananmu itu?”
“Oh,
maksudmu ini?” ia memperlihatkan tangan kanannya yang ternyata tengah memegang
sebuah sekop panjang yang tidak cukup lebar. Dari ukurannya mempang pantas jika
seseorang salah mengiranya sebagai pisau apabila dari kejauhan. Sudah dua kesalahpahaman
yang dibuat oleh Vero.
“Ya
ampun, apa saja yang telah kulakukan,” ia menyalahkan dirinya sendiri atas
kebodohannya. Memang sudah sifatnya untuk cepat memtuskan apa yang dilihatnya
tanpa diteliti lebih dahulu, itulah yang membuatnya selalu mendapat nilai tidak
maksimal dalam pelajaran.
“Kebetulan
sekali masih ada orang disini, bisa membantuku?” tiba-tiba saja gadis itu
memintaku untuk membantunya. Sebenarnya
apa sih yang ia lakukan malam-malam di sini, batinnya. Lagi-lagi sekelebat
pikiran liar muncul kembali di benak Vero. Ia mengikuti gadis itu dari
belakang. Berjalan masuk ke dalam taman di malam hari cukup membuat kesan
menyeramkan, apalagi hanya berdua dengan seseorang yang belum cukup dikenal.
Namun,
segala macam pikiran terhapuskan sudah tatkala melihat petakan panjang berisi
dedaunan. Daun-daun itu tumbuh memanjang ke atas seperti tanaman paku, namun
lebih cenderung seperti pohon buah naga karena daunnya yang tebal. Tak ada
bunga ataupun buah, hanya hamparan petakan berisi daun dari tanaman itu saja.
Gadis itu kemudian berjongkok dan mulai mengeruk tanah dengan sekop yang ia
bawa. Dengan hati-hati ia menaburkan pupuk dari kantong yang ada di sebelahnya.
“Mungkin
kamu berpikir ini hanya tanaman biasa. Jika dilihat memang seperti itu, tapi
kita tidak bisa menilainya hanya dari penampilan luarnya saja bukan?” ia mulai
angkat bicara.
“Epiphyllum oxypetalum,”
“Apa?”
Vero tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh gadis itu.
“Itu
nama tanaman ini. Termasuk ke dalam
jenis kaktus karena daunnya yang tebal. Tidak seperti bunga-bunga pada umumnya,
bunga pada tanaman ini hanya mekar pada malam hari saja. Itupun tidak lama, hanya
beberapa saat saja jika ingin melihatnya mekar secara sempurna. Bunga ini juga
terbilang tidak mudah untuk mekar, tapi walaupun begitu aku tidak akan menyerah
untuk dapat membuatnya mekar,” ungkapnya secara terus terang.
Vero
hanya bisa memasang muka heran melihatnya seperti itu. Gadis itu tampak begitu
gigih merawat tanaman di depannya itu walau sudah malam hari seperti ini. Raut
wajahnya terlihat lebih ceria dibandingkan saat ia duduk di dalam kelas.
Barulah Vero ingat sesuatu.
“Ah,
pantas saja,” teriaknya tiba-tiba membuat orang di depannya itu menoleh ke
hadapannya.
“Itu
sebabnya kau selalu membaca buku agronomi dan belum pulang ketika yang lain
sudah meninggalkan sekolah bukan? Kau yang selalu membaca buku tentang
pertanian itu ternyata benar-benar mempunyai obsesi terhadap hal seperti ini,”
ungkapnya tiba-tiba. Tak disangka-sangka respon yang diberikan di luar dugaan.
Gadis itu tersenyum lalu tertawa sembari menutup kembali lubang-lubang tanah
yang dibuatnya.
“Kau
lucu sekali.”
“Eh,
apanya yang lucu?” tanya Vero heran dengan reaksinya.
“Bukan
hanya dirimu saja yang tahu. Aku tahu kok, kamu selalu memperhatikanku kan? Sebagai
anak yang baru masuk, cukup membuatku banyak orang penasaran sampai aku
menyadari kamu selalu melihat ke arahku. Mungkin bagimu aku terlihat aneh dengan
sikapku yang seperti itu,” jelasnya.
Vero
yang menyadari dirinya ketahuan selalu memperhatikannya hanya bisa memasang
wajah malu sambil menundukkan kepalanya. “Ah, kenapa selama ini aku tidak
menyadarinya.” Gadis itu hanya bisa tertawa kecil melihat ekspresi Vero yang
lucu.
“Di
sini bunga ini disebut Wijayakusuma, banyak orang yang menyebutnya moon flower karena sifatnya yang mekar
saat bulan baru menampakan wajahnya, tapi sejujurnya bagiku ketimbang moonflower bunga ini lebih cocok disebut
ratu malam. Warnanya putih dan bentuknya yang besar diikuti berbagai bentuk mahkota
yang ikut menghiasi ketika mekar membuat bunga ini lebih cocok disebut ratu
malam. Benang sari yang menempel diibaratkan sebagai perhiasan yang menghiasi
mahkota sang ratu,” gadis itu kembali menjelaskan. “Setidaknya itu yang
dikatakan oleh ibuku,” raut wajahnya tiba-tiba berubah serius.
“Ada
apa?” tanya Vero bingung melihat perubahan ekspresinya.
“Dulu,
ibuku seorang penjaga kebun disini. Ia sangat menyukai segala macam bunga dan
selalu merawatnya hingga mekar setiap saat. Sementara aku, hanya seorang
pecinta lagu klasik. Aku selalu bermimpi akan mendapat beasiswa belajar piano
di luar negeri. Hingga suatu ketika ibuku berkata ingin menanam bunga tengah
malam, ia terlihat sangat antusias dan gembira,” gadis itu kemudian
menceritakan dengan terus terang kisahnya.
“Aku
yang tidak percaya, hanya mengacuhkannya dan kembali berlatih memainkan piano
untuk kompetisi lagu klasik yang selalu kuimpikan. Saat itu aku baru duduk di
bangku 1 SMP, aku selalu berkata mustahil ada bunga yang mekar saat malam
ketika tidak ada sinar matahari yang menyelimuti. Walaupun begitu, ibuku tetap
percaya dengan keteguhan dirinya. Yang menanam semua ini adalah ibuku, aku
hanya melanjutkannya saja,” ungkapnya sambil melihat ke arah tanaman di
depannya itu dengan tampang sendu.
“Kukira
kau tidak suka, tapi kenapa melanjutkannya? Lalu, sekarang ibumu masih di sini?
Vero kembali bertanya sambil berjalan mendekat dan ikut mengambil posisi
jongkok di samping gadis itu.
Ia
hanya bisa menggelengkan kepala melihat kenyataan yang terjadi. “Ibuku sudah tidak
lagi ada di sini, di dunia ini.” Mendengar hal itu, Vero hanya bisa mengucapkan
kata maaf sambil mendengarkan kembali ceritanya.
“Awalnya
aku memang tidak terlalu suka dengan bunga, namun lama-kelamaan rasa itu
sedikit mencair karena ibuku selalu menanam berbagai macam tanaman di rumah
kami. Sampai saat itu tiba. Saat dimana semuanya telah menjadi sirna,” terlihat
sedikit air menetes di pipinya.
“Aku
tidak mengetahui kalau ibuku menderita penyakit yang sudah tidak dapat
disembuhkan. Ia selalu bersikap ceria di hadapanku, berbalik denganku yang
selalu ketus terhadapnya karena merasa risih diceritakan mengenai bunga malam itu
terus. Ia pun pergi meninggalkanku yang telah memenangkan kompetisi piano,
tanpa memberitahuku apapun mengenai penyakitnya. Aku selalu menyalahkan diriku
sendiri atas apa yang kuperbuat,” air yang mengalir dari matanya semakin
banyak. Wajahnya cukup tertekan saat menceritakan itu semua.
Vero
meletakkan sebelah tangannya di kepala gadis itu seraya mengusapnya. Ia tahu
apa yang dirasakan oleh gadis itu sama seperti dirinya. Perasaan bersalah atas
apa yang telah dilakukan tidak dapat diulang kembali.
“Aku
juga sama sepertimu kok. Dulu kami keluarga yang lengkap, sampai karena suatu
alasan mengharuskanku pindah kesini dan tinggal menetap di rumah nenekku. Aku
selalu menyalahkan diriku, sampai mengetahui alasan dibalik itu semua. Mungkin
hal yang sama dilakukan oleh ibumu. Ia tidak ingin memberitahukan perihal
penyakitnya padamu, karena takut kamu akan gagal pada impianmu,” jelas Vero
mencoba menenangkan sosok di sampingnya.
“Tapi,
kenapa harus seperti itu, kenapa membohongiku?”
“Setiap
ibu pasti punya alasan sendiri untuk kebahagiaan anaknya,” seketika itu juga
tangis gadis itu pecah. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya isak tangis dan
selama beberapa saat itu mereka lewati dengan saling menceritakan kisah
masing-masing. Sebuah jalinan baru telah diciptakan di antara mereka berdua.
“Ngomong-ngomong,
aku belum tahu siapa namamu? Aku Vero,”
“Namaku
Emi,” jawab gadis itu dengan senyum yang lebih ceria dibanding saat pertama
kali ia datang.
“Ah,
sampai saat ini aku masih heran, kenapa kau menceritakan itu semua kepadaku? Kita
kan belum saling kenal,” tanya Vero heran.
“Itu
karena kau seseorang yang dapat diandalkan, aku tahu saat pertama melihatmu,”
sebuah garis kerutan muncul di dahi Vero yang bingung dengan respon tersebut. “Anak
aneh,” gumamnya.
“Tapi
sayang sekali ya, padahal sudah cukup lama tapi kita tidak bisa melihat bunga
ini mekar,” tukas Vero.
“Ya
sayang sekali, mungkin lain kali di saat yang tepat kita dapat melihatnya.
Mungkin karena pengaruh cuaca juga yang akhir-akhir ini selalu tidak dapat
diprediksi,” tambah Emi seraya membereskan semua perlengkapan yang ia gunakan.
“Ya
benar juga. Baiklah, sudah cukup malam. Ayo kita pulang,” ajak Vero seraya
bangkit dari posisi jongkoknya diikuti dengan Emi.
Mereka
kemudian berjalan menyusuri taman hingga sampai di depan gerbang sekolah. Entah
karena alasan apa, sepertinya Pak Yunus cukup kelelahan. Posisi tidurnya sama
sekali tidak berubah dari saat pertama kali Vero melihatnya, ia masih tertidur
dengan cukup pulas. Mereka pun berjalan keluar gerbang, dan saling berpamitan
ketika jalan di depan mereka bercabang.
“Sampai
jumpa hari Senin,” kata Emi seraya melambaikan tangannya.
“Ya,
sampai ketemu,” balas Vero diikuti lambaian kedua tangannya.
~oOo~
Pagi-pagi
sudah terdengar suara ribut dari anak-anak yang tengah berdiri di depan sebuah papan
mading. Di atas papan itu, tertempel sebuah foto bunga berwarna putih dengan
latar berwarna gelap. Semua orang yang hadir disitu berdecak kagum melihat penampilan
tersebut. Begitu pula dengan Vero dan Emi yang baru saja tiba di depan
kerumunan tersebut.
“Cantik
sekali,” tukas Vero
“Siapa
yang mengambil foto ini? Latar foto ini taman di sekolah ini bukan? Bukannya
bunga ini belum pernah sekalipun mekar,” tanya Emi heran.
“Kau
benar, tidak salah lagi foto ini diambil di taman sekolah. Mungkin pada saat
mekar kau melewatkannya. Tapi siapa yang mengambil foto ini ya?” balas Vero ikut
menampakkan wajah bingung.
“Siapapun
itu aku sangat berterima kasih,” sebuah senyum simpul tapi dalam terukir di
bibir Emi. Sepertinya ia benar-benar senang mengetahui tanaman yang ia rawat
dari ibunya berhasil mekar. Sang ratu malam telah berhasil memekarkan
mahkotanya.
Saat
itu juga, Vero melihat sosok orang berpostur tinggi di sudut pojok dekat
tangga. Pria itu melihat ke arah Emi dengan wajah tersenyum penuh arti,
terlihat pula di tangannya sebuah kamera tergenggam. “Sepertinya akan menarik,”
guman Vero yang secara tiba-tiba merangkul Emi di bahu dan menggesernya ke arah
yang tidak terlalu ramai orang berdiri.
Sosok
pria itu mengambil kamera di tangannya dan meletakaan posisi di depan matanya.
Mengatur posisi sebagus mungkin, dan siap-siap untuk mengambil gambar yang ada
di depannya. Dua sosok wanita tertangkap jelas di muka foto yang baru saja ia
ambil. Di sebelah kiri foto, sosok gadis berkacamata tengah tersenyum ke arah
sesosok gadis di samping yang
merangkulnya. Foto itu lebih terfokus pada gadis yang tersenyum ketimbang di
sebelahnya. Setelah puas dengan hasil yang diambil, ia bergegas pergi dan
langsung menaiki tangga di sebelahnya. Sebuah babak baru yang mengarahkan kehidupan
mereka telah dimulai.
~oOo~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar