The Secret Place
Chapter 1~
Layaknya tirai abu-abu usang yang menutupi sebuah jendela rapuh dikala terang, sosok
demi sosok bayangan berkumpul menjadi satu menutupi sang pemain utama dibalik
layar. Tidak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya ia lakukan di tempat
seperti itu, tak banyak pula orang yang berlalu lalang di sekitarnya,
membuatnya lebih leluasa melakukan hal yang ia lakukan di tempat itu.
Menelusuri sebuah jalan baru untuk sampai ke rumah
bagi sebagian orang mungkin terasa asik, karna terdapat hal-hal baru yang dapat
kau temukan disana. Sekedar mengganti suasana agar tidak bosan pun menjadi
suatu alas an alternative yang dibuat. Akan tetapi, lain halnya jika jalan baru
yang kau lalui itu memutar sedemikian jauhnya hanya untuk dapat
mengistirahatkan badan di ranjang kasurmu yang nyaman, tak hanya itu belum lagi
ditambah hambatan-hambatan proyek atau apapun itu yang membuatmu semakin
mengulur-ulurkan waktumu di jalan, hanya untuk sampai di rumah. Bagi sebagian
orang, hal itu sedikit menjengkelkan, mungkin sudah bukan sedikit lagi bagi
pemuda berambut hitam yang tengah memainkan hpnya itu. Terlihat jelas dari raut
wajahnya yang telah jengkel atas semua hambatan yang ia terima sepulangnya dari
sekolah itu. Butuh waktu lama baginya untuk dapat mengesampingkan semua hal
yang mengganggunya, termasuk alasan dibaliknya memutar jauh jalan yang ada.
Suara angin berhembus terdengar kencang di tengah
sepinya lalu lintas yang ada, mungkin hanya dua tiga orang yang lewat, itupun
hanya sekedar lewat tanpa berhenti di salah satu tempat yang ada. Walaupun
dibilang salah satu, faktanya hanya ada dua toko yang tetap terjaga pada siang
hari itu. Tak terkecualikan dengan papan nama yang usang, lengkap sudah suasana
yang diberikan.
Sekelebat bayangan tiba-tiba saja muncul, menghalangi
sinar datang matahari, membuat jalan terlihat gelap seketika. Namun, yang
membuat pemuda yang kini tengah mendengarkan lagu dari handphonenya tersebut kaget
bukanlah bayangan itu, melainkan seonggok rumah mungil yang berdiri rapuh di
hadapannya. Rumah mungil yang kira-kira seluas 20m2 itu berdiri di
atas sebuah halaman luas bertanamkan rumput dan pohon-pohon rindang. Terdapat
satu jendela yang mungil pula di atas pintu masuk utamanya. Papan kayu rapuh
bertuliskan Andante ikut menghiasi
bagian depan rumah tersebut, dilihat dari warnanya yang kusam dan sedikit
miring, dapat diperkirakan rumah itu telah dibangun dalam waktu yang telah lama
dan sudah tidak digunakan lagi sampai sekarang. Namun yang membuat pemuda tersebut
heran adalah rumput-rumput yang berada di sekitarnya terlihat rapi dan tidak
terlihat liar. Untuk ukuran sebuah rumah yang sudah lama tidak berpenghuni,
kemungkinan rumput di halamannya rapih itu 0%, kecuali jika ada penduduk yang
dengan relanya membersihkan rumput-rumput yang pada dasarnya bukan miliknya
itu, atau jika pemilik rumah tersebut tidak menyukai halaman yang berantakan,
namun tidak mempedulikan debu di sekitar rumahnya. Yah hal tersebut bukanlah
hal yang perlu dipikirkan terus menerus. Pemuda itu melanjutkan perjalanannya
sampai ketika suatu kejadian membuatnya berubah pikiran.
~oOo~
“Nenek, lihat aku. Aku sudah bisa memasak kue, dan
kue ini aku buat untuk nenek, ehehehe” ucap seorang gadis kecil berwajah
oriental dengan mata bulatnya, tersenyum riang ke arah wanita tua yang tengah
duduk di sebuah kursi yang berada di teras rumah.
“Oh sayangku, lihat betapa pintarnya dirimu sudah
bisa membuat kue secantik ini untuk nenek,”
“Itu karena aku ingin jadi seorang patisiere terkenal
seperti nenek, yang bisa membuat segala macam kue, dengan begitu aku juga bisa
makan kue sepuasnya,”
“Oh sayangku, kemarilah,” kemudian wanita tua itu
mendekap gadis mungil itu dalam pelukan hangatnya, menyadari usianya yang sudah
tak memnungkinkan lagi untuk melihat gadis itu tumbuh dewasa membuatnya berkata
demikian,
“Suatu hari nanti jka nenek tidak berada di sampingmu
ketika kau sudah menjadi seorang patisiere, kau bisa melihat kalung ini. Ini
adalah kalung yang menghubungkan hati kita,” ia mengeluarkan sebuah kalung
berbentuk cincin yang ditengahnya terdapat lambang sayap.
“Kenapa nenek bilang seperti itu? Aku ingin nenek
selalu berada di sampingku, dan mencoba masakan buatanku,” balas gadis itu
cemberut
“Fufu, sayang, sesuatu yang memiliki nyawa tidak akan
selamanya dapat bertahan, suatu saat akan ada masa dimana orang tersebut tidak
dapat menemanimu, layaknya bunga yang layu di hari tuanya,” kemudian ia
memasangkan kalung di leher sang gadis mungil, “mungkin nenek tak akan bisa
disampingnmu, tapi hati nenek bisa selama kalung ini berada di tanganmu. Sama
seperti ibumu yang kini tengah menjalankan tugasnya di Perancis, ia juga
memiliki sesuatu yang menghubungkannya dengan orang-orang tercintanya. Semua kekuatan
itu ada dalam hati kita, selama kita mempercayainya setegas apapun hambatan
yang ada pasti bisa kau lewati,”
“Uhuh, nenek. Baiklah jika itu nenek yang
mengatakannya,” Kedua insan itu berpelukan sekali lagi, dan itu merupakan
pelukan terakhir yang dapat gadis mungil
itu rasakan dari seorang yang sangat berarti untuknya.
~oOo~
Pemuda itu menjatuhkan tasnya di jalan seketika. Ia
berlari sekencang mungkin yang ia bisa ke arah rumah mungil itu berada. Tak
peduli apapun itu, ia harus dapat menghentikannya. Ia berlari ke arah papan Andante itu, kemudian berdiri di
bawahnya, menggapainya, dan memegangnya sekuat mungkin agar tidak jatuh seraya
mencoba melepaskan ikatan tali yang ada di papan itu.
“HEY APA YANG KAU LAKUKAN BODOH, BERDIRI DI ATAS
TUMPUKAN BUKU SEPERTI ITU, APAKAH KAU MAU MEMBUATKU BERTANGGUNG JAWAB ATAS
SEMUA YANG BARU SAJA INGIN KAU LAKUKAN?!” teriak pemuda itu tiba-tiba ke arah jendela rumah itu berada. Sejenak jika dilihat
baik-baik terdapat seorang wanita berseragamkan sekolah tengah mencoba
menggantungkan dirinya pada seutas tali yang diikat sampai ke papan nama rumah
itu berasal.
Terlambat sedikit saja, nyawa gadis itu bisa saja
hilang seketika. Untungnya pemuda itu dapat terlebih dahulu melepaskan ikatan
tali yang ada. Gadis yang berada di dalam rumah itu terjatuh begitu saja di
atas tumpukan buku-buku yang telah ia susun sesedemikian rupa.
“Heyy, apa kau tidak apa-apa? Jawab ak—uhh….kakiku..” gadis itu merintih merasakan kakinya
yang terjatuh tadi tepat di atas sisi bagian buku tebal, membuat sedikit darah
mengalir perlahan.
Pemuda itu merogoh-rogoh tas hitamnya, kemudian
mengeluarkan sebuah sapu tangan yang ia lingkarkan di bagian pergelangan kaki
gadis itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Baru segini saja sakit, bagaimana
dengan aksi yang coba kau lakukan tadi,”
“Me-memangnya kau ini siapa, hah? Seenaknya saja
berbicara tanpa tahu apa-apa. Kau ini hanya orang luar yang tak tahu apa-apa
tentang diriku, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!” setengah teriak ia
ucapkan ke arah pemuda itu, rasa kesal terlihat jelas di wajahnya. Ia tidak
pernah menyangka usahanya yang telah ia siapkan matang-matang digagalkan oleh
seorang pemuda asing berseragamkan sekolah yang secara kebetulan lewat di depan
rumahnya.
“Apa tidak boleh menolong seseorang? Kau ini sudah
kutolong asih saja memantah, lebih baik diam saja darah di lukamu tidak akan
berheti mengalir jika kau terus mengoceh,”
“Ka-kaauuu—!!!”
“Kalau begitu aku ingin tanya satu hal. Jika ada
sesosok kepala terlihat dari atas jendela tinggi seperti itu walapun oleh orang
yang berada di luar rumah, apa pikiran pertama yang dapat kau simpulkan, sudah
ada kemungkinan akan adanya kejadian buruk yang terjadi,”
“Kau..sok tau sekali, huh! Bagaimana jika orang itu
hanya ingin membersihkan jendela atau mengambil sesuatu yang terletak di atas,
sudah pasti ia akan mengambil kursi lalu—
“Bagaimana
jika pada saat yang bersamaan kau melihat papan yang berada di samping luar
jendela itu bergerak naik turun seolah-olah seperti ada yang mengaturnya.
Tentunya kita berpikir orang tersebut bertindak sesuatu yang buruk. Jika kau
berpikir orang itu hanya ingin mengambil sesuatu yang tersangkut atau
membersihkan jendela papan itu disangkutkan, akan lebih memudahkanmu jika kau
mencopot papan itu terlebih dahulu. Terlebih lagi, melihat betapa rapuhnya
papan itu tidak mungkin seseorang dengan sengaja menaik turunkan papan dari
dalam seperti ingin memainkannya, kecuali jika kau anak kecil yang cukup iseng.
Dan lagi, tempat papan itu disangkutkan adalah jendela kecil tersebut, dengan
cara apa kau dapat menaik turunkannya tanpa menghubungkannya dengan sesuatu.
Sudah pasti kau menyambungkannya dengan tali atau semacamnya, kemungkinan yang
dapat diperkirakan dengan aksi tersebut ditambah kepala yang terlihat dari atas
ialah seseorang yang ingin mencoba menggantungkan dirinya menggunakan cara
tersebut,” pemuda itu mengikatkan sapu tangannya dengan perlahan tanpa berhenti
berbicara
“Dengan
tali yang telah dihubungkan antara leher dan papan itu, kau mencoba
memastikannya dengan menaik ulurkan tali yang kau gunakan, dengan begitu
terlihat seperti papan itu bergerak naik turun oleh perintah seseorang, tidak
masuk akal jika itu angina bukan. Lalu jika kau sudah siap dan mencoba
menjatuhkan dirimu yang telah tersangkut tali, tali itu akan tertarik membuat
papan itu ikut tertarik sampai batasnya, mengingat bentuknya yang sudah rapuh
kemungkinan papan itu akan jatuh tidak akan lama namun cukup membuat dirimu
tergantung selama beberapa menit. Setelah papan itu jatuh, tali yang kau
gunakan pun ikut putus dan jatuh bersama dirimu yang terkapar di lantai rumah
ini,” Ia menengadahkan kepalanya kea rah gadis tersebut, “tentu saja jika kau
punya pemikiran seperti itu, kau akan segera berlari dan mencoba menolongnya
bukan sebelum terlambat, kecuali jika kau seorang penjahat yangtengah
terburu-buru,”
“K-kau,
bagaimana bisa?”
“Insting
dan perasaan selalu bisa menunjukanmu ke arah yang benar,”
‘perasaan?’ mata gadis itu terpaku
seolah-olah sedang mengingat sesuatu, “Tapi tetap saja kau telah menghancurkan
segala rencana yang telah kubuat untuk saat ini, kau..kauu..,” perlahan air
menetes dari kedua kelopak matanya.
“Tidak
akan ada orang yang mau menerima rencana bodoh seperti itu,” tatapan seriusnya
membuat gadis itu berdecak sesaat, “Yah tapi, beruntungkah kau ditolong olehku
dengan begitu kau dapat berpikir lebih matang lagi rancana lain tanpa
menghilangkan satu pun nyawa yang telah diciptakan ke dunia ini. Kau piker apa
yang akan dirasakan oleh orang-orang yang berharga bagimu setekah mendengar
kematianmu? Apa kau tidak peduli dengan perasaan mereka yang ditinggalkan,
apakah kau mau mereka menanggung segala rasa kehilanganmu? Di dunia ini, tidak
semua hal dapat diakhiri dengan cara mengakhiri hidupmu begitu saja.”
Mata
gadis itu makin memerah, ia mencoba menolehkan wajahnya ke arah yang
berlawanan. Ucapannya barusan membuat hatinya sedikit terbuka dan setengah
sadar oleh apa yang baru saja ingin ia lakukan, “namamu?”
“Apa?
Suaramu kecil sekali,”
“Kutanya
siapa namamu?”
“Oh,
Kai,”
“Nama
lengkapmu?”
“Heh,
untuk apa kau menanyakan nama lengkapku?”
“Uh,
memangnya kenapa? Siapa tahu aku pernah mengenalmu di suatu tempat sebelumnya.
Tidak ada hal yang tidak mungkin bukan,”
“Uh,
baiklah,”
“Lalu?”
“Kai…la
Fixario,”
“Apa?
Kau tadi menyuruhku untuk berbicara yang keras, sekarang malah kau yang
mengecilkan suaramu. Jadi siapa?
“Uhhh…Kaila
Fixario”
“oh,
kalau aku—tunggu, apa aku tidak slah dengar, namamu…” seketika saja suara tawa
sudah melanglang seluruh ruangan di rumah ini, berbeda sekali dengan wajah
kesal sang pemuda, “Oh astaga, yang benar saja, baru kali ini kutemukan lelaki
dengan nama seperti itu, kau tahu itu sangat berlawanan sekali dengan apa yang
tadi kau lakukan dan katakana, ahaha,”
“HAAHH
BERISIK!! Bukan urusanmu jika aku memiliki nama seperti ini, lagipula ini
pemberian kedua orang tuaku,” tampangnya semakin suram karena suara tawa yang
diberikan tidak kunjung berhenti juga, “Panggil saja Kai, ingat itu,”
“Ahahaha…oke..oke,
aku tidak akan mengejekmu lagi..pfftt..,” pemuda itu melihat semakin jengkel ke
arah gadis yang baru saja ia tolong itu, ‘dasar
tidak tahu terima kasih’
“Kai,
panggil aku Emi…Emilia Malier,” walaupun masih sedikit jengkel, mereka berdua
saling berjabat tangan, “tapi ingat, aku tidak akan berterima kasih atas apa yang
kau lakukan barusan. Walaupun kau menolongku, tetap saja kau telah
menghancurkan segala rencana yang kubuat,”
“Ya,
ya, ya,” setengah malas Kai berdiri dari tempat duduknya, mencoba membantu Emi
untuk berdiri dari tempatnya semulanya, “Apa kau bisa berjalan?”
“Yah,
sedikit,” Emi berdiri dibantu oleh Kai, dengan tangan yang dipangkukan di atas
bahu pemuda itu.
“Mengingat
keadaanmu sekarang tidak mungkin aku meninggalkanmu sendirian dengan lukamu
itu, dimana rumahmu?”
“Eh—tunggu,
kau mau mengantarku?”
“Memangnya
harus bagaimana lagi? Apa kau mau kutinggalkan disini, sendirian, walaupun kau
meminta tolong tidak akan ada yang menolongmu mengingat sepinya jalan disini.
Meski itu sampai malam, sampai tidak ada siapa-siapa hany ada binatang buas
y—cukuppp!,
“Baiklah
aku menurut padamu kali ini, tapi tidak lain kali, huh!” ia mengalihkan
pandangannya sekali lagi, “tapi.. terima kasih,”
“Apa
kau bilang?”
“Bu-bukan
apa-apa, sebaiknya cepat kau antarkan aku sekarang sebelum hari semakin gelap,”
“Dasar,”
setengah tersenyum melihat tingkah laku gadis yang berdiri di sampingnya itu.
“Hu-hueeehhh,
ap-apa yang kau lakukan?” tiba-tiba saja Kai mengankat Emi di atas pundaknya.
“Menggendongmu,
ini adalah cara terefisien yang dapat kulakukan sekarang agar dapat dengan cepat pulang ke rumah.
“T-tapi—“
“Berhentilah
bicara. Kau ini berisik sekali,”
“KAUU…..”
‘Benar-benar di luar dugaan,
seharusnya pada saat seperti ini aku sudah di rumah bersama tempat tidurku yang
nyaman sambil bermain game yang baru saja kubeli. Entah kenapa hal ini terjadi
begitu saja. Benar-benar melenceng dari apa yang selama ini kulakukan. Yah
setidaknya semua yang terjadi hari ni baik-baik saja,’
Mereka
berdua berjalan menelusuri sepinya jalan yang ada walau masih terdengar
percakapan seru di antara mereka. Dibilang percakapan, mungkin lebih mirip jika
dibilang saling meledek satu sama lain. Begitulah kehidupan, kau tidak akan
menyadari apa yang telah kau rencanakan dapat dengan mudah dibatalkan, kejadian
tertentu tidak dapat kau prediksi kapan datangnya. Manis pahitnya hidup pun
tidak akan bisa kita perkirakan akan dapat yang mana. Semua terjadi begitu
saja. Layaknya benang yang menghubungkan kita semua dengan orang-orang dan kejadian-kejadian
yang ada. Layaknya bunga mawar yang memiliki bermacam warna yang menggambarkan
kehidupan yang tengah kita jalani. Layaknya tempat yang kau jadikan pijakan
selama hidupmu bersama kenangan yang berlalu lalang di dalamnya.
~oOo~