Sabtu, 30 Agustus 2014

Ratu Malam


Denting bel bergema di bawah derasnya titik-titik air yang berjatuhan ke tanah. Saling bertautan, namun cukup membuat denting bel itu teredam bersamanya. Samar-samar namun pasti, terdengar bunyi derap langkah kaki seseorang. Langkah kaki itu cepat dan terasa berat. Menimbulkan bercak-bercak tanah menempel di beberapa sisi rok yang dikenakan. Kini, di depan gerbang sebuah sekolah tengah berdiri seorang perempuan berperawakan oriental yang penuh dibasahi peluh bercampur air hujan.

~oOo~

Sejak pertama kali memasuki kelas ini, mata Vero jatuh pada seseorang yang tengah duduk di pojok belakang kelas. Terlihat seorang gadis berkacamata tengah duduk sambil membaca sebuah buku tentang agronomi. Bukan karena buku yang ia baca, namun karena sikapnya yang misterius membuat Vero penasaran dengannya. Bayangkan saja, wanita itu tidak pernah sedikitpun beranjak dari tempat duduknya sejak pertama kali Vero masuk ke kelas ini. Tindakannya yang selalu membaca buku agronomi di saat jam apapun itu juga juga termasuk salah satu alasan yang membuatnya terlihat aneh.
“Hei anak baru—Veronica, tadi Bu Sitta bilang padaku agar menyuruhmu menemuinya  di ruang guru sehabis pulang sekolah,” seorang pria berpostur tinggi atau mungkin bisa dibilang paling tinggi di kelas ini menghampiri Vero. Dia adalah ketua kelas Vero, Henry. Sebut saja Jerapah, panggilan kesayangan kelas ini untuknya.
“Baiklah, terima kasih,”

Begitu pelajaran dimulai kembali, hal yang sama atau selalu dilakukan gadis berkacamata itu kembali dilakukan. Ia membuka buku agronominya dan menutupinya dengan buku cetak sejarah, mengingat sekarang pelajaran sejarah. Mata Vero tertuju pada gadis itu lagi, ia heran walaupun gadis itu sering tidak menyimak pelajaran yang diberikan nilainya selalu masuk ke dalam 10 peringkat atas di sekolah. Bagi Vero, itu merupakan suatu keajaiban. Membuat dirinya masuk ke dalam 50 peringkat di sekolah saja sudah susah payah, apalagi 10 besar. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya dan berkhayal seandainya ia bisa masuk 10 peringkat atas, mungkin saja ia diberikan hadiah oleh ayahnya dan ia bisa makan semua makanan yang ia inginkan tanpa perlu bersusah payah mengeluarkan sepeser duitpun dari kantongnya.
Tanpa ia sadari, sebuah spidol meluncur dengan cepat ke arahnya dan dengan mulusnya mendaratkan sebuah tanda merah di atas kening Vero. “AWW!!” dengan cepat tangannya langsung mengusap-ngusap keningnya, semua orang di kelas melihat ke arahnya, ada juga yang menertawakannya. “Uuh, memalukan,” gumamnya dengan suara kecil.
“Sudah bangun, nak?” suara berat keluar dari mulut pria paruh baya yang berdiri di depan kelas.
“Maaf, Pak saya melamun tadi,” seraya mengembalikan spidol yang tadi mengenainya sebagai sasaran empuk.
“Lain kali jangan diulangi lagi,”
“Baik, Pak,”

Denting bel terakhir berbunyi, semua orang berhamburan keluar kelas untuk menuju rumahnya masing-masing dan lagi-lagi gadis berkacamata itu tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Satu lagi yang membuat Vero penasaran, ia tidak pernah melihat gadis itu keluar dari kelas. Seperti sedang menunggu sesuatu.
Perlahan ia langkahkan kakinya keluar kelas sambil membawa tas bergambar emoticon di punggungnya. Seketika itu, terlihat seseorang berlari dengan derap langkah yang terbilang cepat untuk di dalam koridor. Lelaki itu lari begitu saja, seperti sedang dikejar-kejar oleh sesuatu, dan sesuatu itu memang ada di belakangnya. Sang komandan Jerapah berlari lebih atau sangat cepat mengejar lelaki di depannya. Paras wajahnya berkerut seolah memberikan kesan sedang marah, namun lebih terlihat aneh. Dengan keadaan seperti itu ia terlihat lebih cocok seperti macan yang sedang mengejar mangsanya
Saat ia berlari melewati Vero terasa angin berhembus begitu cepat, diikuti dengan teriakan yang berbunyi “Spartaa” mengiringi langkah kaki mereka. Semua berlalu begitu cepat. Tanpa mengecilkan volume suaranya, Vero tertawa dengan cukup keras.
“Ahahahahahaha, apa-apaan itu sparta,” ia tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan tersebut. Itu juga merupakan salah satu alasan Henry disebut-sebut sebagai komandan tim atletik. “Mengucapkan kata sparta dengan wajah seperti itu dan berlari secepat itu, yang benar saja,” masih dalam keadaan tertawa ia lanjut berjalan menyusuri koridor hingga sampai di depan ruangan guru.

Vero berjalan masuk dan menghampiri Bu Sitta yang tengah sibuk mengurusi kertas-kertas dokumen.
“Permisi, Bu. Tadi ibu menyuruh Henry memanggil saya, ada apa?”
“Ah, Vero akhirnya datang juga. Sudah ibu tunggu-tunggu. Ibu hanya meminta kau menyelesaikan kepengurusan perpindahanmu yang belum sempat terselesaikan. Ini ada beberapa dokumen yang perlu diisi sekarang juga, dan kamu bisa menulisnya disini,” perintahnya seraya menyuruh Vero duduk di kursi yang ada di sampingnya.
“Ah dan ini, rapotmu yang lama ibu simpan disini. Kamu juga tolong fotocopy berkas-berkas lainnya yang telah ibu minta waktu lampau, apa sudah?”
“Oh itu, saya bawa. Sebentar.”

Waktu berjalan dengan begitu cepat, cukup lama Vero berdiam diri di ruangan guru mengurusi segala sesuatu tentang kepindahannya ke sekolah ini. Tak hanya itu, Bu Sitta juga menyuruhnya untuk membantu mengisi dokumen-dokumen yang ada, cukup membuat tangannya pegal. Kemudian, ia berjalan menyusuri koridor kembali menuju gerbang sekolah. Langit di luar sudah memancarkan cahaya purnama yang begitu terang. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu sampai malam. Hal itu membuatnya merasa tidak nyaman mengingat ia cukup takut dengan hal-hal yang gelap dan berbau mistis.
Sebenarnya ia cukup takut dan kesal mengharuskannya pulang larut malam. Apalagi untuk sampai ke depan pintu gerbang sekolah ini ia harus melewati taman sekolah yang cukup luas. Walaupun bukan hanya ia sendiri yang berada di sekolah ini sekarang, perasaan takut tetap menghampirinya. Dengan cepat ia mengambil langkah seribu. Tak peduli apapun di depannya, ia ingin cepat sampai gerbang, naik angkutan umum, lalu menginjakkan kaki segera di rumahnya.
Namun, di depannya terlihat sesosok siluet orang. Entah apa yang orang itu lakukan, gerak geriknya terlihat tidak biasa. Pada bagian kanan tangannya, terdapat sebuah sesuatu yang terlihat seperti pisau tergenggam erat. Seketika itu saja, seluruh bulu Vero berdiri merinding. Ia tidak berani melewati orang tersebut, namun hanya taman di depannya lah satu-satunya jalan menuju keluar. Ia memberanikan diri berjalan ke depan, sembari membungkuk di samping semak-semak. Berharap tidak ketahuan.
“Entah kenapa sekolah ini menyeramkan walau baru jam segini, bagaimana tengah malam. Aku tidak habis piker kenapa banyak yang membuat rumor tentang hantu di sini,” gumamnya masih dalam posisi berjalan membungkuk. “Aku harus cepat-cepat keluar sebelum tertangkap,” langkahnya semakin cepat.
Akhirnya ia bisa lolos dari kepungan tanaman di belakangnya, kini gerbang sudah di depan mata. Dengan segenap tenaga ia berlari melewati pos satpam. Sekilas ia melihat sebuah tas Jansport berwarna biru jeans tergeletak di samping tempat pos satpam. Sepertinya Pak Yunus, satpam sekolah ini tidak tahu ada tas disitu. Pria paruh baya itu tertidur dengan pulasnya sambil memakai earphone. “Yang benar saja, bukannya menjaga malah tidur dengan pulasnya. Tapi harus kuakui canggih juga satpam disini.”
Barulah Vero ingat, ia pernah melihat tas itu di suatu tempat. Suatu tempat di pojok bagian belakang.
“Ah! Tentu saja, bagaimana aku bisa lupa,” tas yang selalu menemani gadis berkacamata yang selalu dilihat olehnya tergeletak di sana. Mengapa tasnya di sini?
“AH! Jangan-jangan ia masih di dalam,” suatu pikiran terlintas di benaknya. Ia mengingat sosok siluet bergenggamkan pisau masih berkeliaran di taman. Ingin rasanya Vero berlari mencari gadis itu dan membawanya ke sini sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Tanpa banyak pikir ia berlari begitu saja untuk kembali ke dalam. Tak peduli apapun itu, ia tidak ingin pikiran di otaknya benar-benar terjadi.
Vero mencari-cari sosok perempuan berkacamata di seluruh ruangan yang ia lewati, tapi tak kunjung juga ditemukan. Sampai sebuah tangan tiba-tiba meraih pundaknya.
“WAAHHH! Si-siapa ituu?” Vero terlonjak kaget merasakan sebuah tangan di menyentuhnya. Bisa saja ia segera berlari menghindar, tapi tangan itu menggenggamnya untuk mencegahnya berlari. “Huwaa…lepaskan aku! Aku tidak salah apa-apa,” ia berusaha melepaskan gengaman tangan itu.
“Te-tenang ini aku, kau tidak perlu takut,” sosok pria berpostur tubuh tinggi kini berdiri di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Henry.
“Ya-yang benar saja, kukira siapa bikin kaget saja. Apa yang kau lakukan disini malam hari?” Melihat sosok itu, perasaan lega menyelimuti tubuhnya. Entah apa jadinya jika yang menangkapnya siluet orang tadi.
“Yah sebenarnya tadi aku sedang mengikuti ujian susulan, mengingat waktu saat ujian tidak masuk karena sakit. Dan sebenarnya tadi aku sudah pulang, tapi ada sesuatu yang tertinggal mengharuskanku balik lagi ke sekolah,” ia menjelaskan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lalu kau sendiri?” tanyanya balik.
Vero kemudian menjelaskan apa yang ia lakukan tadi sampai kejadian yang baru saja ia lihat di taman.
“Maksudmu anak perempuan berkacamata yang tidak pernah keluar itu?” tanyanya lagi penasaran.
“Ya, dan sekarang aku sedang mencarinya sebelum semuanya terlambat,”
“Tapi apa tidak terpikirkan olehmu, bisa saja itu hanya ibu kantin atau petugas taman atau bisa saja guru di sini yang belum pulang? Pikiranmu terlalu liar,” Henry mencoba meyakinkan Vero itu hanya kesalahpahaman belaka.
“Awalnya aku berpikir seperti itu, tapi aku tetap tidak bisa tenang memikirkannya. Apalagi hanya dia sendiri yang masih berada hingga larut malam begini. Yah, aku khawatir saja jika terjadi sesuatu,” perasaan tidak tenang menghampirinya lagi.
“Kalau begitu aku ikut denganmu,” jawab Henry tiba-tiba. “Dan untuk pertama-tama kita coba untuk melihat sekali lagi tempat dimana kamu melihat siluet tadi,” tanpa menunggu jawaban Vero, ia berlari begitu saja meninggalkannya menuju arah taman.
“He-hei, aku belum bilang iya bukan?” tidak ada respon dari orang di depannya, “Arrgh, tunggu akuu!” dengan terpaksa ia ikut berlari di belakangnya.
Mereka berdua bersama-sama berlari menuju taman. Saat itu juga, Vero menghentikan langkah kakinya ketika sudah sampai. Namun, tidak demikian dengan Henry. Ia tidak menghentikan langkahnya sedikitpun, tanpa memikirkan apapun ia berlari meninggalkan Vero yang terdiam mematung.
“Aku hanya bilang akan ikut denganmu bukan? AKu tidak bilang akan ikut denganmu mencarinya. Kalau begitu, sampai ketemu hari Senin,” jelasnya tiba-tiba sambil berlari melambaikan tangannya menuju gerbang. Sosoknya kemudian menghilang setelah berbelok ke arah kanan.
“AARRGGGHHHH!!” Vero berdecak kesal dirinya terbodohi. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya mempercayai perkataan sang komandan jerapah. Merasa hanya tinggal dirinya sendiri di tengah taman, ia hanya bisa pasrah menunggu nasibnya. Hari sudah semakin malam, semua guru sudah pulang hanya tinggal petugas kebersihan dan satpam sajalah yang masih tinggal di sekolah ini. Lututnya lemas.

Bunyi ranting bergesakan terdengar dari semak-semak di sebelahnya. Vero tak kuasa menahan berat badannya yang semakin lemas. Ia jatuh terduduk begitu saja. Derap langkah kaki terdengar dari balik semak-semak. Semakin keras suaranya, menunjukkan langkah kaki orang itu semakin dekat menuju ke arahnya. Ia hanya bisa pasrah dan berdoa untuk tidak terjadi kemungkinan yang terburuk. Semua ini salah Henry, dia meninggalkanku sendirian. Awas saja nanti jika terjadi sesuatu denganku akan kuhantui dirimu selamanya, umpatnya dalam hati. Ia tidak menyadari jika  si sosok siluet sudah berdiri di belakangnya.
“Kamu, anak baru itu kan?” Terdengar suara halus keluar dari mulut orang di belakang Vero.
“Eh?” Vero langsung membuka matanya yang tengah tertutp sejak tadi, dihadapkanlah kepalanya ke belakang. Takjub dengan apa yang dilihat, ia menghela napas penjang. Lega apa yang dilihatnya bukanlah sosok menyeramkan melainkan seorang perempuan berkacamata. Sebuah kesalahpahaman kecil telah dibuat olehnya yang terlalu takut dengan hantu sehingga berkhayal yang tidak-tidak.
“Sedang apa? Kamu tadi terlihat seperti orang ketakutan,” tanya gadis itu.
“Eh..ah..itu, tadi aku tidak sengaja mendengar gonggongan anjing. Kau tahu kan, itu menyeramkan kalau terdengar di malam hari, makanya aku ketakutan,” Vero mencari-cari alasan seakal mungkin. Tidak mungkin jika ia bilang bahwa ia ketakutan melihat siluet orang bergenggamkan pisau mengejarnya yang tak lain adalah anak perempuan yang selalu ia perhatikan. Kalau dilihat dari dekat ternyata gadis ini cukup cantik juga, mungkin lebih terlihat babyface. Bicara mengenai pisau, “Ah, apa yang kau genggam di tangan kananmu itu?”
“Oh, maksudmu ini?” ia memperlihatkan tangan kanannya yang ternyata tengah memegang sebuah sekop panjang yang tidak cukup lebar. Dari ukurannya mempang pantas jika seseorang salah mengiranya sebagai pisau apabila dari kejauhan. Sudah dua kesalahpahaman yang dibuat oleh Vero.
“Ya ampun, apa saja yang telah kulakukan,” ia menyalahkan dirinya sendiri atas kebodohannya. Memang sudah sifatnya untuk cepat memtuskan apa yang dilihatnya tanpa diteliti lebih dahulu, itulah yang membuatnya selalu mendapat nilai tidak maksimal dalam pelajaran.
“Kebetulan sekali masih ada orang disini, bisa membantuku?” tiba-tiba saja gadis itu memintaku untuk membantunya. Sebenarnya apa sih yang ia lakukan malam-malam di sini, batinnya. Lagi-lagi sekelebat pikiran liar muncul kembali di benak Vero. Ia mengikuti gadis itu dari belakang. Berjalan masuk ke dalam taman di malam hari cukup membuat kesan menyeramkan, apalagi hanya berdua dengan seseorang yang belum cukup dikenal.

Namun, segala macam pikiran terhapuskan sudah tatkala melihat petakan panjang berisi dedaunan. Daun-daun itu tumbuh memanjang ke atas seperti tanaman paku, namun lebih cenderung seperti pohon buah naga karena daunnya yang tebal. Tak ada bunga ataupun buah, hanya hamparan petakan berisi daun dari tanaman itu saja. Gadis itu kemudian berjongkok dan mulai mengeruk tanah dengan sekop yang ia bawa. Dengan hati-hati ia menaburkan pupuk dari kantong yang ada di sebelahnya.
“Mungkin kamu berpikir ini hanya tanaman biasa. Jika dilihat memang seperti itu, tapi kita tidak bisa menilainya hanya dari penampilan luarnya saja bukan?” ia mulai angkat bicara.
Epiphyllum oxypetalum,”
“Apa?” Vero tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh gadis itu.
“Itu nama tanaman ini.  Termasuk ke dalam jenis kaktus karena daunnya yang tebal. Tidak seperti bunga-bunga pada umumnya, bunga pada tanaman ini hanya mekar pada malam hari saja. Itupun tidak lama, hanya beberapa saat saja jika ingin melihatnya mekar secara sempurna. Bunga ini juga terbilang tidak mudah untuk mekar, tapi walaupun begitu aku tidak akan menyerah untuk dapat membuatnya mekar,” ungkapnya secara terus terang.
Vero hanya bisa memasang muka heran melihatnya seperti itu. Gadis itu tampak begitu gigih merawat tanaman di depannya itu walau sudah malam hari seperti ini. Raut wajahnya terlihat lebih ceria dibandingkan saat ia duduk di dalam kelas. Barulah Vero ingat sesuatu.
“Ah, pantas saja,” teriaknya tiba-tiba membuat orang di depannya itu menoleh ke hadapannya.
“Itu sebabnya kau selalu membaca buku agronomi dan belum pulang ketika yang lain sudah meninggalkan sekolah bukan? Kau yang selalu membaca buku tentang pertanian itu ternyata benar-benar mempunyai obsesi terhadap hal seperti ini,” ungkapnya tiba-tiba. Tak disangka-sangka respon yang diberikan di luar dugaan. Gadis itu tersenyum lalu tertawa sembari menutup kembali lubang-lubang tanah yang dibuatnya.
“Kau lucu sekali.”
“Eh, apanya yang lucu?” tanya Vero heran dengan reaksinya.
“Bukan hanya dirimu saja yang tahu. Aku tahu kok, kamu selalu memperhatikanku kan? Sebagai anak yang baru masuk, cukup membuatku banyak orang penasaran sampai aku menyadari kamu selalu melihat ke arahku. Mungkin bagimu aku terlihat aneh dengan sikapku yang seperti itu,” jelasnya.
Vero yang menyadari dirinya ketahuan selalu memperhatikannya hanya bisa memasang wajah malu sambil menundukkan kepalanya. “Ah, kenapa selama ini aku tidak menyadarinya.” Gadis itu hanya bisa tertawa kecil melihat ekspresi Vero yang lucu.
“Di sini bunga ini disebut Wijayakusuma, banyak orang yang menyebutnya moon flower karena sifatnya yang mekar saat bulan baru menampakan wajahnya, tapi sejujurnya bagiku ketimbang moonflower bunga ini lebih cocok disebut ratu malam. Warnanya putih dan bentuknya yang besar diikuti berbagai bentuk mahkota yang ikut menghiasi ketika mekar membuat bunga ini lebih cocok disebut ratu malam. Benang sari yang menempel diibaratkan sebagai perhiasan yang menghiasi mahkota sang ratu,” gadis itu kembali menjelaskan. “Setidaknya itu yang dikatakan oleh ibuku,” raut wajahnya tiba-tiba berubah serius.
“Ada apa?” tanya Vero bingung melihat perubahan ekspresinya.
“Dulu, ibuku seorang penjaga kebun disini. Ia sangat menyukai segala macam bunga dan selalu merawatnya hingga mekar setiap saat. Sementara aku, hanya seorang pecinta lagu klasik. Aku selalu bermimpi akan mendapat beasiswa belajar piano di luar negeri. Hingga suatu ketika ibuku berkata ingin menanam bunga tengah malam, ia terlihat sangat antusias dan gembira,” gadis itu kemudian menceritakan dengan terus terang kisahnya.
“Aku yang tidak percaya, hanya mengacuhkannya dan kembali berlatih memainkan piano untuk kompetisi lagu klasik yang selalu kuimpikan. Saat itu aku baru duduk di bangku 1 SMP, aku selalu berkata mustahil ada bunga yang mekar saat malam ketika tidak ada sinar matahari yang menyelimuti. Walaupun begitu, ibuku tetap percaya dengan keteguhan dirinya. Yang menanam semua ini adalah ibuku, aku hanya melanjutkannya saja,” ungkapnya sambil melihat ke arah tanaman di depannya itu dengan tampang sendu.
“Kukira kau tidak suka, tapi kenapa melanjutkannya? Lalu, sekarang ibumu masih di sini? Vero kembali bertanya sambil berjalan mendekat dan ikut mengambil posisi jongkok di samping gadis itu.
Ia hanya bisa menggelengkan kepala melihat kenyataan yang terjadi. “Ibuku sudah tidak lagi ada di sini, di dunia ini.” Mendengar hal itu, Vero hanya bisa mengucapkan kata maaf sambil mendengarkan kembali ceritanya.
“Awalnya aku memang tidak terlalu suka dengan bunga, namun lama-kelamaan rasa itu sedikit mencair karena ibuku selalu menanam berbagai macam tanaman di rumah kami. Sampai saat itu tiba. Saat dimana semuanya telah menjadi sirna,” terlihat sedikit air menetes di pipinya.
“Aku tidak mengetahui kalau ibuku menderita penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan. Ia selalu bersikap ceria di hadapanku, berbalik denganku yang selalu ketus terhadapnya karena merasa risih diceritakan mengenai bunga malam itu terus. Ia pun pergi meninggalkanku yang telah memenangkan kompetisi piano, tanpa memberitahuku apapun mengenai penyakitnya. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas apa yang kuperbuat,” air yang mengalir dari matanya semakin banyak. Wajahnya cukup tertekan saat menceritakan itu semua.

Vero meletakkan sebelah tangannya di kepala gadis itu seraya mengusapnya. Ia tahu apa yang dirasakan oleh gadis itu sama seperti dirinya. Perasaan bersalah atas apa yang telah dilakukan tidak dapat diulang kembali.
“Aku juga sama sepertimu kok. Dulu kami keluarga yang lengkap, sampai karena suatu alasan mengharuskanku pindah kesini dan tinggal menetap di rumah nenekku. Aku selalu menyalahkan diriku, sampai mengetahui alasan dibalik itu semua. Mungkin hal yang sama dilakukan oleh ibumu. Ia tidak ingin memberitahukan perihal penyakitnya padamu, karena takut kamu akan gagal pada impianmu,” jelas Vero mencoba menenangkan sosok di sampingnya.
“Tapi, kenapa harus seperti itu, kenapa membohongiku?”
“Setiap ibu pasti punya alasan sendiri untuk kebahagiaan anaknya,” seketika itu juga tangis gadis itu pecah. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya isak tangis dan selama beberapa saat itu mereka lewati dengan saling menceritakan kisah masing-masing. Sebuah jalinan baru telah diciptakan di antara mereka berdua.
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu siapa namamu? Aku Vero,”
“Namaku Emi,” jawab gadis itu dengan senyum yang lebih ceria dibanding saat pertama kali ia datang.
“Ah, sampai saat ini aku masih heran, kenapa kau menceritakan itu semua kepadaku? Kita kan belum saling kenal,” tanya Vero heran.
“Itu karena kau seseorang yang dapat diandalkan, aku tahu saat pertama melihatmu,” sebuah garis kerutan muncul di dahi Vero yang bingung dengan respon tersebut. “Anak aneh,” gumamnya.
“Tapi sayang sekali ya, padahal sudah cukup lama tapi kita tidak bisa melihat bunga ini mekar,” tukas Vero.
“Ya sayang sekali, mungkin lain kali di saat yang tepat kita dapat melihatnya. Mungkin karena pengaruh cuaca juga yang akhir-akhir ini selalu tidak dapat diprediksi,” tambah Emi seraya membereskan semua perlengkapan yang ia gunakan.
“Ya benar juga. Baiklah, sudah cukup malam. Ayo kita pulang,” ajak Vero seraya bangkit dari posisi jongkoknya diikuti dengan Emi.
Mereka kemudian berjalan menyusuri taman hingga sampai di depan gerbang sekolah. Entah karena alasan apa, sepertinya Pak Yunus cukup kelelahan. Posisi tidurnya sama sekali tidak berubah dari saat pertama kali Vero melihatnya, ia masih tertidur dengan cukup pulas. Mereka pun berjalan keluar gerbang, dan saling berpamitan ketika jalan di depan mereka bercabang.
“Sampai jumpa hari Senin,” kata Emi seraya melambaikan tangannya.
“Ya, sampai ketemu,” balas Vero diikuti lambaian kedua tangannya.

~oOo~

Pagi-pagi sudah terdengar suara ribut dari anak-anak yang tengah berdiri di depan sebuah papan mading. Di atas papan itu, tertempel sebuah foto bunga berwarna putih dengan latar berwarna gelap. Semua orang yang hadir disitu berdecak kagum melihat penampilan tersebut. Begitu pula dengan Vero dan Emi yang baru saja tiba di depan kerumunan tersebut.
“Cantik sekali,” tukas Vero
“Siapa yang mengambil foto ini? Latar foto ini taman di sekolah ini bukan? Bukannya bunga ini belum pernah sekalipun mekar,” tanya Emi heran.
“Kau benar, tidak salah lagi foto ini diambil di taman sekolah. Mungkin pada saat mekar kau melewatkannya. Tapi siapa yang mengambil foto ini ya?” balas Vero ikut menampakkan wajah bingung.
“Siapapun itu aku sangat berterima kasih,” sebuah senyum simpul tapi dalam terukir di bibir Emi. Sepertinya ia benar-benar senang mengetahui tanaman yang ia rawat dari ibunya berhasil mekar. Sang ratu malam telah berhasil memekarkan mahkotanya.
Saat itu juga, Vero melihat sosok orang berpostur tinggi di sudut pojok dekat tangga. Pria itu melihat ke arah Emi dengan wajah tersenyum penuh arti, terlihat pula di tangannya sebuah kamera tergenggam. “Sepertinya akan menarik,” guman Vero yang secara tiba-tiba merangkul Emi di bahu dan menggesernya ke arah yang tidak terlalu ramai orang berdiri.

Sosok pria itu mengambil kamera di tangannya dan meletakaan posisi di depan matanya. Mengatur posisi sebagus mungkin, dan siap-siap untuk mengambil gambar yang ada di depannya. Dua sosok wanita tertangkap jelas di muka foto yang baru saja ia ambil. Di sebelah kiri foto, sosok gadis berkacamata tengah tersenyum ke arah sesosok gadis di samping  yang merangkulnya. Foto itu lebih terfokus pada gadis yang tersenyum ketimbang di sebelahnya. Setelah puas dengan hasil yang diambil, ia bergegas pergi dan langsung menaiki tangga di sebelahnya. Sebuah babak baru yang mengarahkan kehidupan mereka telah dimulai.

~oOo~


Visitor

Know us

Blue Wings

Our Team

Sign by Danasoft - Get Your Sign

Contact us

Nama

Email *

Pesan *