Sabtu, 08 November 2014

Ehem....untuk kali ini saya ingin menulispendapat saya yang mungkin pendapat khalayak banyak juga. Sekedar suara kecil saya yang benar-benar ingin saya keluarkan. Sesuai judul di atas "Kenapa BBM Naik Terus??" Semua pasti udah pada tau kan, kalo di bulan November ini bakal ada kebijakan yang bakal ngebuat BBM di negeri ini melonjak naik lagi. So, bagaimana pendapat kalian? Terus terang, saya yang melihat berita pun hanya tersenyum kecut, miris melihat kebijakan yang dibuat begitu saja setelah presien baru kita sudah diangkat, belum lagi adanya polemik di DPR yang ricuh. Sebenarnya mereka tau gak sih, siapa itu rakyat? apa itu rakyat? 
     Negara itu cuman bagaikan sebuah tempurung atau bisa dibilang wadah, negara tidak akan dapat berdiri tanpa adanya seorang pemimpin yang mengatur, dan pemimpin tidak akan pernah menjadi seorang pemimpin jika tidak ada yang bisa diatur dalam hal ini adalah rakyat. So, rakyat itu merupakan sebuah kunci penting dalam suatu negara. Ada juga yang bilang sikap pemimpin bisa terlihat dari bagaimana sikap rakyatnya. Semua yang diatur dalam negara ini, entah itu SDM, SDA, dan lainnya pastinya kembali lagi untuk kepentingan rakyat. Kalian pasti ingat kan, UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, tentang cabang-cabang produksi dan kekayaan alam yang ada semua diatur oleh dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Lalu, untuk apa semua kebijakan yang dibuat justru malah membuat rakyat menderita. 
     Setelah sekian lama, melihat berita yang muncul, entah itu konflik di pemerintah, kenaikan BBM yang teus menerus, ataupun masalah pelik lainnya. Dalam hati, saya benar-benar miris melihat kondisi negara kita ini. Apa jadinya seorng pemimpin yang malah membuat rakyat menderita,e apakah mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dijerat mahalnya barang-barang kebutuhan hidup yang seharusnya kita butuhkan untuk keperluan pokok tidak dapat kita beli lantaran minimnya uang dan meningkatnya harga yang fantsatis. Pernah gak sih mereka memikirkan kondisi dari segi pemikiran rakyat. Terus terang saja saya bingung sama pemerintahan kali ini, banyak sekali kericuhan dan masalah - masalah yang timbul. Terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kenaikan BBM kali ini. Jika BBM naik, maka semua kebutuhan pokok seperti barang sembako yang notabenenya sangat diperlukan akan menjadi mahal, tentu sangat sulit bagi rakyat kecil yang tidak mampu. Beruntung bagi yang masih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya hanya prihatin menjadi orang yang melihat semua ini.  Memang pada saat ini, harga minyak dunia sedang mengalami pemerosotan harga, namun bukankah terlalu terburu-buru jika langsung menaikan harga BBM. Sangat diharapkan sekali pemerintah memikir ulang beribu-ribu kali sebelum menyetujui kebijakan tersebut, dan sangat diharapkan adanya solusi lain yang dapat memecahkan masalah tersebut tanpa harus menaikan harga BBM. Sebagai rakyat kecil, memang kita tidak dapat berbuat apa-apa, tapi alangkah baiknya pemerintah mendengar suara-suara kecil kita ini. Bukankan negara kita ini negara demokrasi ???
     Belum lagi isu-isu akan adanya perdagangan bebas pada tahun 2015, memang sekarang ini juga sudah mulai. Namun, jika keadaan itu dibiarkan terus atau malah diterima begitu saja, bagaimana nasib industri Indonesia saat ini yang sebagian besar masih kalah saing di pasaran dunia. Apakah mau begitu saja, semua jerih payah dan semua industri lokal kta terkubur begitu saja jika barang-barang asing masuk begitu dan menguasai pasar di Indonesia. Mengingat sekarang ini, banyak orang yang lebih suka produk impor ketimbang lokal. Sunggu miris melihatnya. Mereka yang tidak cinta, pasti lebih senang dan bangga dapat membeli produk asing. Ingat broo, Indonesia juga punya potensi besar. 
     Padahal, produk kita juga gak kalah sama produk luar, walau mungkin terdapat perbedaan. Tapi alangkah bagus, baik, dan benarnya jika kita lebih memilih produk lokal. Saya lebih ingin, jika semua rakyat Indonesia menunjang produk lokal dengan membelinya terus. Pertahankan untuk beberapa waktu ke depan, karena dengan banyaknya pembeli yang akan membeli produk lagi, pastinya industri lokal akan lebih senang dan pasti bakal mengembangkan produk-produknya menjadi lebih banyak lagi bukan? Saya lebih ingin Indonesia meningkatkan keadaan produk lokalnya sendiri dulu, jika sudah cukup banyak dan mampu barulah tidak apa-apa jika banyak produk asing yang masuk, namun harus melalui seleksi juga, jangan sampai produk yang mengancam jiwa raga rakyat kita masuk begitu saja. Setidaknya dengan begitu, produk kita tidak kalah dengan produk asing.
     Sekiranya itulah suara, pendapat, dan saran saya mengenai keadaan Indonesia saat ini, benar-benar memprihatinkan. Saya harap ke depannya, tidak,untuk saat ini pemerintah benar-benar menyadari untuk apa perannya dalam kepemerintahan. dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat

Sabtu, 30 Agustus 2014

Ratu Malam


Denting bel bergema di bawah derasnya titik-titik air yang berjatuhan ke tanah. Saling bertautan, namun cukup membuat denting bel itu teredam bersamanya. Samar-samar namun pasti, terdengar bunyi derap langkah kaki seseorang. Langkah kaki itu cepat dan terasa berat. Menimbulkan bercak-bercak tanah menempel di beberapa sisi rok yang dikenakan. Kini, di depan gerbang sebuah sekolah tengah berdiri seorang perempuan berperawakan oriental yang penuh dibasahi peluh bercampur air hujan.

~oOo~

Sejak pertama kali memasuki kelas ini, mata Vero jatuh pada seseorang yang tengah duduk di pojok belakang kelas. Terlihat seorang gadis berkacamata tengah duduk sambil membaca sebuah buku tentang agronomi. Bukan karena buku yang ia baca, namun karena sikapnya yang misterius membuat Vero penasaran dengannya. Bayangkan saja, wanita itu tidak pernah sedikitpun beranjak dari tempat duduknya sejak pertama kali Vero masuk ke kelas ini. Tindakannya yang selalu membaca buku agronomi di saat jam apapun itu juga juga termasuk salah satu alasan yang membuatnya terlihat aneh.
“Hei anak baru—Veronica, tadi Bu Sitta bilang padaku agar menyuruhmu menemuinya  di ruang guru sehabis pulang sekolah,” seorang pria berpostur tinggi atau mungkin bisa dibilang paling tinggi di kelas ini menghampiri Vero. Dia adalah ketua kelas Vero, Henry. Sebut saja Jerapah, panggilan kesayangan kelas ini untuknya.
“Baiklah, terima kasih,”

Begitu pelajaran dimulai kembali, hal yang sama atau selalu dilakukan gadis berkacamata itu kembali dilakukan. Ia membuka buku agronominya dan menutupinya dengan buku cetak sejarah, mengingat sekarang pelajaran sejarah. Mata Vero tertuju pada gadis itu lagi, ia heran walaupun gadis itu sering tidak menyimak pelajaran yang diberikan nilainya selalu masuk ke dalam 10 peringkat atas di sekolah. Bagi Vero, itu merupakan suatu keajaiban. Membuat dirinya masuk ke dalam 50 peringkat di sekolah saja sudah susah payah, apalagi 10 besar. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya dan berkhayal seandainya ia bisa masuk 10 peringkat atas, mungkin saja ia diberikan hadiah oleh ayahnya dan ia bisa makan semua makanan yang ia inginkan tanpa perlu bersusah payah mengeluarkan sepeser duitpun dari kantongnya.
Tanpa ia sadari, sebuah spidol meluncur dengan cepat ke arahnya dan dengan mulusnya mendaratkan sebuah tanda merah di atas kening Vero. “AWW!!” dengan cepat tangannya langsung mengusap-ngusap keningnya, semua orang di kelas melihat ke arahnya, ada juga yang menertawakannya. “Uuh, memalukan,” gumamnya dengan suara kecil.
“Sudah bangun, nak?” suara berat keluar dari mulut pria paruh baya yang berdiri di depan kelas.
“Maaf, Pak saya melamun tadi,” seraya mengembalikan spidol yang tadi mengenainya sebagai sasaran empuk.
“Lain kali jangan diulangi lagi,”
“Baik, Pak,”

Denting bel terakhir berbunyi, semua orang berhamburan keluar kelas untuk menuju rumahnya masing-masing dan lagi-lagi gadis berkacamata itu tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Satu lagi yang membuat Vero penasaran, ia tidak pernah melihat gadis itu keluar dari kelas. Seperti sedang menunggu sesuatu.
Perlahan ia langkahkan kakinya keluar kelas sambil membawa tas bergambar emoticon di punggungnya. Seketika itu, terlihat seseorang berlari dengan derap langkah yang terbilang cepat untuk di dalam koridor. Lelaki itu lari begitu saja, seperti sedang dikejar-kejar oleh sesuatu, dan sesuatu itu memang ada di belakangnya. Sang komandan Jerapah berlari lebih atau sangat cepat mengejar lelaki di depannya. Paras wajahnya berkerut seolah memberikan kesan sedang marah, namun lebih terlihat aneh. Dengan keadaan seperti itu ia terlihat lebih cocok seperti macan yang sedang mengejar mangsanya
Saat ia berlari melewati Vero terasa angin berhembus begitu cepat, diikuti dengan teriakan yang berbunyi “Spartaa” mengiringi langkah kaki mereka. Semua berlalu begitu cepat. Tanpa mengecilkan volume suaranya, Vero tertawa dengan cukup keras.
“Ahahahahahaha, apa-apaan itu sparta,” ia tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan tersebut. Itu juga merupakan salah satu alasan Henry disebut-sebut sebagai komandan tim atletik. “Mengucapkan kata sparta dengan wajah seperti itu dan berlari secepat itu, yang benar saja,” masih dalam keadaan tertawa ia lanjut berjalan menyusuri koridor hingga sampai di depan ruangan guru.

Vero berjalan masuk dan menghampiri Bu Sitta yang tengah sibuk mengurusi kertas-kertas dokumen.
“Permisi, Bu. Tadi ibu menyuruh Henry memanggil saya, ada apa?”
“Ah, Vero akhirnya datang juga. Sudah ibu tunggu-tunggu. Ibu hanya meminta kau menyelesaikan kepengurusan perpindahanmu yang belum sempat terselesaikan. Ini ada beberapa dokumen yang perlu diisi sekarang juga, dan kamu bisa menulisnya disini,” perintahnya seraya menyuruh Vero duduk di kursi yang ada di sampingnya.
“Ah dan ini, rapotmu yang lama ibu simpan disini. Kamu juga tolong fotocopy berkas-berkas lainnya yang telah ibu minta waktu lampau, apa sudah?”
“Oh itu, saya bawa. Sebentar.”

Waktu berjalan dengan begitu cepat, cukup lama Vero berdiam diri di ruangan guru mengurusi segala sesuatu tentang kepindahannya ke sekolah ini. Tak hanya itu, Bu Sitta juga menyuruhnya untuk membantu mengisi dokumen-dokumen yang ada, cukup membuat tangannya pegal. Kemudian, ia berjalan menyusuri koridor kembali menuju gerbang sekolah. Langit di luar sudah memancarkan cahaya purnama yang begitu terang. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu sampai malam. Hal itu membuatnya merasa tidak nyaman mengingat ia cukup takut dengan hal-hal yang gelap dan berbau mistis.
Sebenarnya ia cukup takut dan kesal mengharuskannya pulang larut malam. Apalagi untuk sampai ke depan pintu gerbang sekolah ini ia harus melewati taman sekolah yang cukup luas. Walaupun bukan hanya ia sendiri yang berada di sekolah ini sekarang, perasaan takut tetap menghampirinya. Dengan cepat ia mengambil langkah seribu. Tak peduli apapun di depannya, ia ingin cepat sampai gerbang, naik angkutan umum, lalu menginjakkan kaki segera di rumahnya.
Namun, di depannya terlihat sesosok siluet orang. Entah apa yang orang itu lakukan, gerak geriknya terlihat tidak biasa. Pada bagian kanan tangannya, terdapat sebuah sesuatu yang terlihat seperti pisau tergenggam erat. Seketika itu saja, seluruh bulu Vero berdiri merinding. Ia tidak berani melewati orang tersebut, namun hanya taman di depannya lah satu-satunya jalan menuju keluar. Ia memberanikan diri berjalan ke depan, sembari membungkuk di samping semak-semak. Berharap tidak ketahuan.
“Entah kenapa sekolah ini menyeramkan walau baru jam segini, bagaimana tengah malam. Aku tidak habis piker kenapa banyak yang membuat rumor tentang hantu di sini,” gumamnya masih dalam posisi berjalan membungkuk. “Aku harus cepat-cepat keluar sebelum tertangkap,” langkahnya semakin cepat.
Akhirnya ia bisa lolos dari kepungan tanaman di belakangnya, kini gerbang sudah di depan mata. Dengan segenap tenaga ia berlari melewati pos satpam. Sekilas ia melihat sebuah tas Jansport berwarna biru jeans tergeletak di samping tempat pos satpam. Sepertinya Pak Yunus, satpam sekolah ini tidak tahu ada tas disitu. Pria paruh baya itu tertidur dengan pulasnya sambil memakai earphone. “Yang benar saja, bukannya menjaga malah tidur dengan pulasnya. Tapi harus kuakui canggih juga satpam disini.”
Barulah Vero ingat, ia pernah melihat tas itu di suatu tempat. Suatu tempat di pojok bagian belakang.
“Ah! Tentu saja, bagaimana aku bisa lupa,” tas yang selalu menemani gadis berkacamata yang selalu dilihat olehnya tergeletak di sana. Mengapa tasnya di sini?
“AH! Jangan-jangan ia masih di dalam,” suatu pikiran terlintas di benaknya. Ia mengingat sosok siluet bergenggamkan pisau masih berkeliaran di taman. Ingin rasanya Vero berlari mencari gadis itu dan membawanya ke sini sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Tanpa banyak pikir ia berlari begitu saja untuk kembali ke dalam. Tak peduli apapun itu, ia tidak ingin pikiran di otaknya benar-benar terjadi.
Vero mencari-cari sosok perempuan berkacamata di seluruh ruangan yang ia lewati, tapi tak kunjung juga ditemukan. Sampai sebuah tangan tiba-tiba meraih pundaknya.
“WAAHHH! Si-siapa ituu?” Vero terlonjak kaget merasakan sebuah tangan di menyentuhnya. Bisa saja ia segera berlari menghindar, tapi tangan itu menggenggamnya untuk mencegahnya berlari. “Huwaa…lepaskan aku! Aku tidak salah apa-apa,” ia berusaha melepaskan gengaman tangan itu.
“Te-tenang ini aku, kau tidak perlu takut,” sosok pria berpostur tubuh tinggi kini berdiri di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Henry.
“Ya-yang benar saja, kukira siapa bikin kaget saja. Apa yang kau lakukan disini malam hari?” Melihat sosok itu, perasaan lega menyelimuti tubuhnya. Entah apa jadinya jika yang menangkapnya siluet orang tadi.
“Yah sebenarnya tadi aku sedang mengikuti ujian susulan, mengingat waktu saat ujian tidak masuk karena sakit. Dan sebenarnya tadi aku sudah pulang, tapi ada sesuatu yang tertinggal mengharuskanku balik lagi ke sekolah,” ia menjelaskan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lalu kau sendiri?” tanyanya balik.
Vero kemudian menjelaskan apa yang ia lakukan tadi sampai kejadian yang baru saja ia lihat di taman.
“Maksudmu anak perempuan berkacamata yang tidak pernah keluar itu?” tanyanya lagi penasaran.
“Ya, dan sekarang aku sedang mencarinya sebelum semuanya terlambat,”
“Tapi apa tidak terpikirkan olehmu, bisa saja itu hanya ibu kantin atau petugas taman atau bisa saja guru di sini yang belum pulang? Pikiranmu terlalu liar,” Henry mencoba meyakinkan Vero itu hanya kesalahpahaman belaka.
“Awalnya aku berpikir seperti itu, tapi aku tetap tidak bisa tenang memikirkannya. Apalagi hanya dia sendiri yang masih berada hingga larut malam begini. Yah, aku khawatir saja jika terjadi sesuatu,” perasaan tidak tenang menghampirinya lagi.
“Kalau begitu aku ikut denganmu,” jawab Henry tiba-tiba. “Dan untuk pertama-tama kita coba untuk melihat sekali lagi tempat dimana kamu melihat siluet tadi,” tanpa menunggu jawaban Vero, ia berlari begitu saja meninggalkannya menuju arah taman.
“He-hei, aku belum bilang iya bukan?” tidak ada respon dari orang di depannya, “Arrgh, tunggu akuu!” dengan terpaksa ia ikut berlari di belakangnya.
Mereka berdua bersama-sama berlari menuju taman. Saat itu juga, Vero menghentikan langkah kakinya ketika sudah sampai. Namun, tidak demikian dengan Henry. Ia tidak menghentikan langkahnya sedikitpun, tanpa memikirkan apapun ia berlari meninggalkan Vero yang terdiam mematung.
“Aku hanya bilang akan ikut denganmu bukan? AKu tidak bilang akan ikut denganmu mencarinya. Kalau begitu, sampai ketemu hari Senin,” jelasnya tiba-tiba sambil berlari melambaikan tangannya menuju gerbang. Sosoknya kemudian menghilang setelah berbelok ke arah kanan.
“AARRGGGHHHH!!” Vero berdecak kesal dirinya terbodohi. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya mempercayai perkataan sang komandan jerapah. Merasa hanya tinggal dirinya sendiri di tengah taman, ia hanya bisa pasrah menunggu nasibnya. Hari sudah semakin malam, semua guru sudah pulang hanya tinggal petugas kebersihan dan satpam sajalah yang masih tinggal di sekolah ini. Lututnya lemas.

Bunyi ranting bergesakan terdengar dari semak-semak di sebelahnya. Vero tak kuasa menahan berat badannya yang semakin lemas. Ia jatuh terduduk begitu saja. Derap langkah kaki terdengar dari balik semak-semak. Semakin keras suaranya, menunjukkan langkah kaki orang itu semakin dekat menuju ke arahnya. Ia hanya bisa pasrah dan berdoa untuk tidak terjadi kemungkinan yang terburuk. Semua ini salah Henry, dia meninggalkanku sendirian. Awas saja nanti jika terjadi sesuatu denganku akan kuhantui dirimu selamanya, umpatnya dalam hati. Ia tidak menyadari jika  si sosok siluet sudah berdiri di belakangnya.
“Kamu, anak baru itu kan?” Terdengar suara halus keluar dari mulut orang di belakang Vero.
“Eh?” Vero langsung membuka matanya yang tengah tertutp sejak tadi, dihadapkanlah kepalanya ke belakang. Takjub dengan apa yang dilihat, ia menghela napas penjang. Lega apa yang dilihatnya bukanlah sosok menyeramkan melainkan seorang perempuan berkacamata. Sebuah kesalahpahaman kecil telah dibuat olehnya yang terlalu takut dengan hantu sehingga berkhayal yang tidak-tidak.
“Sedang apa? Kamu tadi terlihat seperti orang ketakutan,” tanya gadis itu.
“Eh..ah..itu, tadi aku tidak sengaja mendengar gonggongan anjing. Kau tahu kan, itu menyeramkan kalau terdengar di malam hari, makanya aku ketakutan,” Vero mencari-cari alasan seakal mungkin. Tidak mungkin jika ia bilang bahwa ia ketakutan melihat siluet orang bergenggamkan pisau mengejarnya yang tak lain adalah anak perempuan yang selalu ia perhatikan. Kalau dilihat dari dekat ternyata gadis ini cukup cantik juga, mungkin lebih terlihat babyface. Bicara mengenai pisau, “Ah, apa yang kau genggam di tangan kananmu itu?”
“Oh, maksudmu ini?” ia memperlihatkan tangan kanannya yang ternyata tengah memegang sebuah sekop panjang yang tidak cukup lebar. Dari ukurannya mempang pantas jika seseorang salah mengiranya sebagai pisau apabila dari kejauhan. Sudah dua kesalahpahaman yang dibuat oleh Vero.
“Ya ampun, apa saja yang telah kulakukan,” ia menyalahkan dirinya sendiri atas kebodohannya. Memang sudah sifatnya untuk cepat memtuskan apa yang dilihatnya tanpa diteliti lebih dahulu, itulah yang membuatnya selalu mendapat nilai tidak maksimal dalam pelajaran.
“Kebetulan sekali masih ada orang disini, bisa membantuku?” tiba-tiba saja gadis itu memintaku untuk membantunya. Sebenarnya apa sih yang ia lakukan malam-malam di sini, batinnya. Lagi-lagi sekelebat pikiran liar muncul kembali di benak Vero. Ia mengikuti gadis itu dari belakang. Berjalan masuk ke dalam taman di malam hari cukup membuat kesan menyeramkan, apalagi hanya berdua dengan seseorang yang belum cukup dikenal.

Namun, segala macam pikiran terhapuskan sudah tatkala melihat petakan panjang berisi dedaunan. Daun-daun itu tumbuh memanjang ke atas seperti tanaman paku, namun lebih cenderung seperti pohon buah naga karena daunnya yang tebal. Tak ada bunga ataupun buah, hanya hamparan petakan berisi daun dari tanaman itu saja. Gadis itu kemudian berjongkok dan mulai mengeruk tanah dengan sekop yang ia bawa. Dengan hati-hati ia menaburkan pupuk dari kantong yang ada di sebelahnya.
“Mungkin kamu berpikir ini hanya tanaman biasa. Jika dilihat memang seperti itu, tapi kita tidak bisa menilainya hanya dari penampilan luarnya saja bukan?” ia mulai angkat bicara.
Epiphyllum oxypetalum,”
“Apa?” Vero tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh gadis itu.
“Itu nama tanaman ini.  Termasuk ke dalam jenis kaktus karena daunnya yang tebal. Tidak seperti bunga-bunga pada umumnya, bunga pada tanaman ini hanya mekar pada malam hari saja. Itupun tidak lama, hanya beberapa saat saja jika ingin melihatnya mekar secara sempurna. Bunga ini juga terbilang tidak mudah untuk mekar, tapi walaupun begitu aku tidak akan menyerah untuk dapat membuatnya mekar,” ungkapnya secara terus terang.
Vero hanya bisa memasang muka heran melihatnya seperti itu. Gadis itu tampak begitu gigih merawat tanaman di depannya itu walau sudah malam hari seperti ini. Raut wajahnya terlihat lebih ceria dibandingkan saat ia duduk di dalam kelas. Barulah Vero ingat sesuatu.
“Ah, pantas saja,” teriaknya tiba-tiba membuat orang di depannya itu menoleh ke hadapannya.
“Itu sebabnya kau selalu membaca buku agronomi dan belum pulang ketika yang lain sudah meninggalkan sekolah bukan? Kau yang selalu membaca buku tentang pertanian itu ternyata benar-benar mempunyai obsesi terhadap hal seperti ini,” ungkapnya tiba-tiba. Tak disangka-sangka respon yang diberikan di luar dugaan. Gadis itu tersenyum lalu tertawa sembari menutup kembali lubang-lubang tanah yang dibuatnya.
“Kau lucu sekali.”
“Eh, apanya yang lucu?” tanya Vero heran dengan reaksinya.
“Bukan hanya dirimu saja yang tahu. Aku tahu kok, kamu selalu memperhatikanku kan? Sebagai anak yang baru masuk, cukup membuatku banyak orang penasaran sampai aku menyadari kamu selalu melihat ke arahku. Mungkin bagimu aku terlihat aneh dengan sikapku yang seperti itu,” jelasnya.
Vero yang menyadari dirinya ketahuan selalu memperhatikannya hanya bisa memasang wajah malu sambil menundukkan kepalanya. “Ah, kenapa selama ini aku tidak menyadarinya.” Gadis itu hanya bisa tertawa kecil melihat ekspresi Vero yang lucu.
“Di sini bunga ini disebut Wijayakusuma, banyak orang yang menyebutnya moon flower karena sifatnya yang mekar saat bulan baru menampakan wajahnya, tapi sejujurnya bagiku ketimbang moonflower bunga ini lebih cocok disebut ratu malam. Warnanya putih dan bentuknya yang besar diikuti berbagai bentuk mahkota yang ikut menghiasi ketika mekar membuat bunga ini lebih cocok disebut ratu malam. Benang sari yang menempel diibaratkan sebagai perhiasan yang menghiasi mahkota sang ratu,” gadis itu kembali menjelaskan. “Setidaknya itu yang dikatakan oleh ibuku,” raut wajahnya tiba-tiba berubah serius.
“Ada apa?” tanya Vero bingung melihat perubahan ekspresinya.
“Dulu, ibuku seorang penjaga kebun disini. Ia sangat menyukai segala macam bunga dan selalu merawatnya hingga mekar setiap saat. Sementara aku, hanya seorang pecinta lagu klasik. Aku selalu bermimpi akan mendapat beasiswa belajar piano di luar negeri. Hingga suatu ketika ibuku berkata ingin menanam bunga tengah malam, ia terlihat sangat antusias dan gembira,” gadis itu kemudian menceritakan dengan terus terang kisahnya.
“Aku yang tidak percaya, hanya mengacuhkannya dan kembali berlatih memainkan piano untuk kompetisi lagu klasik yang selalu kuimpikan. Saat itu aku baru duduk di bangku 1 SMP, aku selalu berkata mustahil ada bunga yang mekar saat malam ketika tidak ada sinar matahari yang menyelimuti. Walaupun begitu, ibuku tetap percaya dengan keteguhan dirinya. Yang menanam semua ini adalah ibuku, aku hanya melanjutkannya saja,” ungkapnya sambil melihat ke arah tanaman di depannya itu dengan tampang sendu.
“Kukira kau tidak suka, tapi kenapa melanjutkannya? Lalu, sekarang ibumu masih di sini? Vero kembali bertanya sambil berjalan mendekat dan ikut mengambil posisi jongkok di samping gadis itu.
Ia hanya bisa menggelengkan kepala melihat kenyataan yang terjadi. “Ibuku sudah tidak lagi ada di sini, di dunia ini.” Mendengar hal itu, Vero hanya bisa mengucapkan kata maaf sambil mendengarkan kembali ceritanya.
“Awalnya aku memang tidak terlalu suka dengan bunga, namun lama-kelamaan rasa itu sedikit mencair karena ibuku selalu menanam berbagai macam tanaman di rumah kami. Sampai saat itu tiba. Saat dimana semuanya telah menjadi sirna,” terlihat sedikit air menetes di pipinya.
“Aku tidak mengetahui kalau ibuku menderita penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan. Ia selalu bersikap ceria di hadapanku, berbalik denganku yang selalu ketus terhadapnya karena merasa risih diceritakan mengenai bunga malam itu terus. Ia pun pergi meninggalkanku yang telah memenangkan kompetisi piano, tanpa memberitahuku apapun mengenai penyakitnya. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas apa yang kuperbuat,” air yang mengalir dari matanya semakin banyak. Wajahnya cukup tertekan saat menceritakan itu semua.

Vero meletakkan sebelah tangannya di kepala gadis itu seraya mengusapnya. Ia tahu apa yang dirasakan oleh gadis itu sama seperti dirinya. Perasaan bersalah atas apa yang telah dilakukan tidak dapat diulang kembali.
“Aku juga sama sepertimu kok. Dulu kami keluarga yang lengkap, sampai karena suatu alasan mengharuskanku pindah kesini dan tinggal menetap di rumah nenekku. Aku selalu menyalahkan diriku, sampai mengetahui alasan dibalik itu semua. Mungkin hal yang sama dilakukan oleh ibumu. Ia tidak ingin memberitahukan perihal penyakitnya padamu, karena takut kamu akan gagal pada impianmu,” jelas Vero mencoba menenangkan sosok di sampingnya.
“Tapi, kenapa harus seperti itu, kenapa membohongiku?”
“Setiap ibu pasti punya alasan sendiri untuk kebahagiaan anaknya,” seketika itu juga tangis gadis itu pecah. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya isak tangis dan selama beberapa saat itu mereka lewati dengan saling menceritakan kisah masing-masing. Sebuah jalinan baru telah diciptakan di antara mereka berdua.
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu siapa namamu? Aku Vero,”
“Namaku Emi,” jawab gadis itu dengan senyum yang lebih ceria dibanding saat pertama kali ia datang.
“Ah, sampai saat ini aku masih heran, kenapa kau menceritakan itu semua kepadaku? Kita kan belum saling kenal,” tanya Vero heran.
“Itu karena kau seseorang yang dapat diandalkan, aku tahu saat pertama melihatmu,” sebuah garis kerutan muncul di dahi Vero yang bingung dengan respon tersebut. “Anak aneh,” gumamnya.
“Tapi sayang sekali ya, padahal sudah cukup lama tapi kita tidak bisa melihat bunga ini mekar,” tukas Vero.
“Ya sayang sekali, mungkin lain kali di saat yang tepat kita dapat melihatnya. Mungkin karena pengaruh cuaca juga yang akhir-akhir ini selalu tidak dapat diprediksi,” tambah Emi seraya membereskan semua perlengkapan yang ia gunakan.
“Ya benar juga. Baiklah, sudah cukup malam. Ayo kita pulang,” ajak Vero seraya bangkit dari posisi jongkoknya diikuti dengan Emi.
Mereka kemudian berjalan menyusuri taman hingga sampai di depan gerbang sekolah. Entah karena alasan apa, sepertinya Pak Yunus cukup kelelahan. Posisi tidurnya sama sekali tidak berubah dari saat pertama kali Vero melihatnya, ia masih tertidur dengan cukup pulas. Mereka pun berjalan keluar gerbang, dan saling berpamitan ketika jalan di depan mereka bercabang.
“Sampai jumpa hari Senin,” kata Emi seraya melambaikan tangannya.
“Ya, sampai ketemu,” balas Vero diikuti lambaian kedua tangannya.

~oOo~

Pagi-pagi sudah terdengar suara ribut dari anak-anak yang tengah berdiri di depan sebuah papan mading. Di atas papan itu, tertempel sebuah foto bunga berwarna putih dengan latar berwarna gelap. Semua orang yang hadir disitu berdecak kagum melihat penampilan tersebut. Begitu pula dengan Vero dan Emi yang baru saja tiba di depan kerumunan tersebut.
“Cantik sekali,” tukas Vero
“Siapa yang mengambil foto ini? Latar foto ini taman di sekolah ini bukan? Bukannya bunga ini belum pernah sekalipun mekar,” tanya Emi heran.
“Kau benar, tidak salah lagi foto ini diambil di taman sekolah. Mungkin pada saat mekar kau melewatkannya. Tapi siapa yang mengambil foto ini ya?” balas Vero ikut menampakkan wajah bingung.
“Siapapun itu aku sangat berterima kasih,” sebuah senyum simpul tapi dalam terukir di bibir Emi. Sepertinya ia benar-benar senang mengetahui tanaman yang ia rawat dari ibunya berhasil mekar. Sang ratu malam telah berhasil memekarkan mahkotanya.
Saat itu juga, Vero melihat sosok orang berpostur tinggi di sudut pojok dekat tangga. Pria itu melihat ke arah Emi dengan wajah tersenyum penuh arti, terlihat pula di tangannya sebuah kamera tergenggam. “Sepertinya akan menarik,” guman Vero yang secara tiba-tiba merangkul Emi di bahu dan menggesernya ke arah yang tidak terlalu ramai orang berdiri.

Sosok pria itu mengambil kamera di tangannya dan meletakaan posisi di depan matanya. Mengatur posisi sebagus mungkin, dan siap-siap untuk mengambil gambar yang ada di depannya. Dua sosok wanita tertangkap jelas di muka foto yang baru saja ia ambil. Di sebelah kiri foto, sosok gadis berkacamata tengah tersenyum ke arah sesosok gadis di samping  yang merangkulnya. Foto itu lebih terfokus pada gadis yang tersenyum ketimbang di sebelahnya. Setelah puas dengan hasil yang diambil, ia bergegas pergi dan langsung menaiki tangga di sebelahnya. Sebuah babak baru yang mengarahkan kehidupan mereka telah dimulai.

~oOo~


Minggu, 15 Juni 2014

The Secret Place

Chapter 1~

Layaknya tirai abu-abu usang yang menutupi  sebuah jendela rapuh dikala terang, sosok demi sosok bayangan berkumpul menjadi satu menutupi sang pemain utama dibalik layar. Tidak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya ia lakukan di tempat seperti itu, tak banyak pula orang yang berlalu lalang di sekitarnya, membuatnya lebih leluasa melakukan hal yang ia lakukan di tempat itu.
Menelusuri sebuah jalan baru untuk sampai ke rumah bagi sebagian orang mungkin terasa asik, karna terdapat hal-hal baru yang dapat kau temukan disana. Sekedar mengganti suasana agar tidak bosan pun menjadi suatu alas an alternative yang dibuat. Akan tetapi, lain halnya jika jalan baru yang kau lalui itu memutar sedemikian jauhnya hanya untuk dapat mengistirahatkan badan di ranjang kasurmu yang nyaman, tak hanya itu belum lagi ditambah hambatan-hambatan proyek atau apapun itu yang membuatmu semakin mengulur-ulurkan waktumu di jalan, hanya untuk sampai di rumah. Bagi sebagian orang, hal itu sedikit menjengkelkan, mungkin sudah bukan sedikit lagi bagi pemuda berambut hitam yang tengah memainkan hpnya itu. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang telah jengkel atas semua hambatan yang ia terima sepulangnya dari sekolah itu. Butuh waktu lama baginya untuk dapat mengesampingkan semua hal yang mengganggunya, termasuk alasan dibaliknya memutar jauh jalan yang ada.
Suara angin berhembus terdengar kencang di tengah sepinya lalu lintas yang ada, mungkin hanya dua tiga orang yang lewat, itupun hanya sekedar lewat tanpa berhenti di salah satu tempat yang ada. Walaupun dibilang salah satu, faktanya hanya ada dua toko yang tetap terjaga pada siang hari itu. Tak terkecualikan dengan papan nama yang usang, lengkap sudah suasana yang diberikan.
Sekelebat bayangan tiba-tiba saja muncul, menghalangi sinar datang matahari, membuat jalan terlihat gelap seketika. Namun, yang membuat pemuda yang kini tengah mendengarkan lagu dari handphonenya tersebut kaget bukanlah bayangan itu, melainkan seonggok rumah mungil yang berdiri rapuh di hadapannya. Rumah mungil yang kira-kira seluas 20m2 itu berdiri di atas sebuah halaman luas bertanamkan rumput dan pohon-pohon rindang. Terdapat satu jendela yang mungil pula di atas pintu masuk utamanya. Papan kayu rapuh bertuliskan Andante ikut menghiasi bagian depan rumah tersebut, dilihat dari warnanya yang kusam dan sedikit miring, dapat diperkirakan rumah itu telah dibangun dalam waktu yang telah lama dan sudah tidak digunakan lagi sampai sekarang. Namun yang membuat pemuda tersebut heran adalah rumput-rumput yang berada di sekitarnya terlihat rapi dan tidak terlihat liar. Untuk ukuran sebuah rumah yang sudah lama tidak berpenghuni, kemungkinan rumput di halamannya rapih itu 0%, kecuali jika ada penduduk yang dengan relanya membersihkan rumput-rumput yang pada dasarnya bukan miliknya itu, atau jika pemilik rumah tersebut tidak menyukai halaman yang berantakan, namun tidak mempedulikan debu di sekitar rumahnya. Yah hal tersebut bukanlah hal yang perlu dipikirkan terus menerus. Pemuda itu melanjutkan perjalanannya sampai ketika suatu kejadian membuatnya berubah pikiran.

~oOo~

“Nenek, lihat aku. Aku sudah bisa memasak kue, dan kue ini aku buat untuk nenek, ehehehe” ucap seorang gadis kecil berwajah oriental dengan mata bulatnya, tersenyum riang ke arah wanita tua yang tengah duduk di sebuah kursi yang berada di teras rumah.
“Oh sayangku, lihat betapa pintarnya dirimu sudah bisa membuat kue secantik ini untuk nenek,”
“Itu karena aku ingin jadi seorang patisiere terkenal seperti nenek, yang bisa membuat segala macam kue, dengan begitu aku juga bisa makan kue sepuasnya,”
“Oh sayangku, kemarilah,” kemudian wanita tua itu mendekap gadis mungil itu dalam pelukan hangatnya, menyadari usianya yang sudah tak memnungkinkan lagi untuk melihat gadis itu tumbuh dewasa membuatnya berkata demikian,
“Suatu hari nanti jka nenek tidak berada di sampingmu ketika kau sudah menjadi seorang patisiere, kau bisa melihat kalung ini. Ini adalah kalung yang menghubungkan hati kita,” ia mengeluarkan sebuah kalung berbentuk cincin yang ditengahnya terdapat lambang sayap.
“Kenapa nenek bilang seperti itu? Aku ingin nenek selalu berada di sampingku, dan mencoba masakan buatanku,” balas gadis itu cemberut
“Fufu, sayang, sesuatu yang memiliki nyawa tidak akan selamanya dapat bertahan, suatu saat akan ada masa dimana orang tersebut tidak dapat menemanimu, layaknya bunga yang layu di hari tuanya,” kemudian ia memasangkan kalung di leher sang gadis mungil, “mungkin nenek tak akan bisa disampingnmu, tapi hati nenek bisa selama kalung ini berada di tanganmu. Sama seperti ibumu yang kini tengah menjalankan tugasnya di Perancis, ia juga memiliki sesuatu yang menghubungkannya dengan orang-orang tercintanya. Semua kekuatan itu ada dalam hati kita, selama kita mempercayainya setegas apapun hambatan yang ada pasti bisa kau lewati,”
“Uhuh, nenek. Baiklah jika itu nenek yang mengatakannya,” Kedua insan itu berpelukan sekali lagi, dan itu merupakan pelukan terakhir yang dapat gadis mungil  itu rasakan dari seorang yang sangat berarti untuknya.

~oOo~
Pemuda itu menjatuhkan tasnya di jalan seketika. Ia berlari sekencang mungkin yang ia bisa ke arah rumah mungil itu berada. Tak peduli apapun itu, ia harus dapat menghentikannya. Ia berlari ke arah papan Andante itu, kemudian berdiri di bawahnya, menggapainya, dan memegangnya sekuat mungkin agar tidak jatuh seraya mencoba melepaskan ikatan tali yang ada di papan itu.
“HEY APA YANG KAU LAKUKAN BODOH, BERDIRI DI ATAS TUMPUKAN BUKU SEPERTI ITU, APAKAH KAU MAU MEMBUATKU BERTANGGUNG JAWAB ATAS SEMUA YANG BARU SAJA INGIN KAU LAKUKAN?!” teriak pemuda itu tiba-tiba ke arah  jendela rumah itu berada. Sejenak jika dilihat baik-baik terdapat seorang wanita berseragamkan sekolah tengah mencoba menggantungkan dirinya pada seutas tali yang diikat sampai ke papan nama rumah itu berasal.
Terlambat sedikit saja, nyawa gadis itu bisa saja hilang seketika. Untungnya pemuda itu dapat terlebih dahulu melepaskan ikatan tali yang ada. Gadis yang berada di dalam rumah itu terjatuh begitu saja di atas tumpukan buku-buku yang telah ia susun sesedemikian rupa.
“Heyy, apa kau tidak apa-apa? Jawab akuhh….kakiku..” gadis itu merintih merasakan kakinya yang terjatuh tadi tepat di atas sisi bagian buku tebal, membuat sedikit darah mengalir perlahan.
Pemuda itu merogoh-rogoh tas hitamnya, kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan yang ia lingkarkan di bagian pergelangan kaki gadis itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Baru segini saja sakit, bagaimana dengan aksi yang coba kau lakukan tadi,”
“Me-memangnya kau ini siapa, hah? Seenaknya saja berbicara tanpa tahu apa-apa. Kau ini hanya orang luar yang tak tahu apa-apa tentang diriku, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!” setengah teriak ia ucapkan ke arah pemuda itu, rasa kesal terlihat jelas di wajahnya. Ia tidak pernah menyangka usahanya yang telah ia siapkan matang-matang digagalkan oleh seorang pemuda asing berseragamkan sekolah yang secara kebetulan lewat di depan rumahnya.
“Apa tidak boleh menolong seseorang? Kau ini sudah kutolong asih saja memantah, lebih baik diam saja darah di lukamu tidak akan berheti mengalir jika kau terus mengoceh,”
“Ka-kaauuu!!!”
“Kalau begitu aku ingin tanya satu hal. Jika ada sesosok kepala terlihat dari atas jendela tinggi seperti itu walapun oleh orang yang berada di luar rumah, apa pikiran pertama yang dapat kau simpulkan, sudah ada kemungkinan akan adanya kejadian buruk yang terjadi,”
“Kau..sok tau sekali, huh! Bagaimana jika orang itu hanya ingin membersihkan jendela atau mengambil sesuatu yang terletak di atas, sudah pasti ia akan mengambil kursi lalu
“Bagaimana jika pada saat yang bersamaan kau melihat papan yang berada di samping luar jendela itu bergerak naik turun seolah-olah seperti ada yang mengaturnya. Tentunya kita berpikir orang tersebut bertindak sesuatu yang buruk. Jika kau berpikir orang itu hanya ingin mengambil sesuatu yang tersangkut atau membersihkan jendela papan itu disangkutkan, akan lebih memudahkanmu jika kau mencopot papan itu terlebih dahulu. Terlebih lagi, melihat betapa rapuhnya papan itu tidak mungkin seseorang dengan sengaja menaik turunkan papan dari dalam seperti ingin memainkannya, kecuali jika kau anak kecil yang cukup iseng. Dan lagi, tempat papan itu disangkutkan adalah jendela kecil tersebut, dengan cara apa kau dapat menaik turunkannya tanpa menghubungkannya dengan sesuatu. Sudah pasti kau menyambungkannya dengan tali atau semacamnya, kemungkinan yang dapat diperkirakan dengan aksi tersebut ditambah kepala yang terlihat dari atas ialah seseorang yang ingin mencoba menggantungkan dirinya menggunakan cara tersebut,” pemuda itu mengikatkan sapu tangannya dengan perlahan tanpa berhenti berbicara
“Dengan tali yang telah dihubungkan antara leher dan papan itu, kau mencoba memastikannya dengan menaik ulurkan tali yang kau gunakan, dengan begitu terlihat seperti papan itu bergerak naik turun oleh perintah seseorang, tidak masuk akal jika itu angina bukan. Lalu jika kau sudah siap dan mencoba menjatuhkan dirimu yang telah tersangkut tali, tali itu akan tertarik membuat papan itu ikut tertarik sampai batasnya, mengingat bentuknya yang sudah rapuh kemungkinan papan itu akan jatuh tidak akan lama namun cukup membuat dirimu tergantung selama beberapa menit. Setelah papan itu jatuh, tali yang kau gunakan pun ikut putus dan jatuh bersama dirimu yang terkapar di lantai rumah ini,” Ia menengadahkan kepalanya kea rah gadis tersebut, “tentu saja jika kau punya pemikiran seperti itu, kau akan segera berlari dan mencoba menolongnya bukan sebelum terlambat, kecuali jika kau seorang penjahat yangtengah terburu-buru,”
“K-kau, bagaimana bisa?”
“Insting dan perasaan selalu bisa menunjukanmu ke arah yang benar,”
perasaan?’ mata gadis itu terpaku seolah-olah sedang mengingat sesuatu, “Tapi tetap saja kau telah menghancurkan segala rencana yang telah kubuat untuk saat ini, kau..kauu..,” perlahan air menetes dari kedua kelopak matanya.
“Tidak akan ada orang yang mau menerima rencana bodoh seperti itu,” tatapan seriusnya membuat gadis itu berdecak sesaat, “Yah tapi, beruntungkah kau ditolong olehku dengan begitu kau dapat berpikir lebih matang lagi rancana lain tanpa menghilangkan satu pun nyawa yang telah diciptakan ke dunia ini. Kau piker apa yang akan dirasakan oleh orang-orang yang berharga bagimu setekah mendengar kematianmu? Apa kau tidak peduli dengan perasaan mereka yang ditinggalkan, apakah kau mau mereka menanggung segala rasa kehilanganmu? Di dunia ini, tidak semua hal dapat diakhiri dengan cara mengakhiri hidupmu begitu saja.”
Mata gadis itu makin memerah, ia mencoba menolehkan wajahnya ke arah yang berlawanan. Ucapannya barusan membuat hatinya sedikit terbuka dan setengah sadar oleh apa yang baru saja ingin ia lakukan, “namamu?”
“Apa? Suaramu kecil sekali,”
“Kutanya siapa namamu?”
“Oh, Kai,”
“Nama lengkapmu?”
“Heh, untuk apa kau menanyakan nama lengkapku?”
“Uh, memangnya kenapa? Siapa tahu aku pernah mengenalmu di suatu tempat sebelumnya. Tidak ada hal yang tidak mungkin bukan,”
“Uh, baiklah,”
“Lalu?”
“Kai…la Fixario,”
“Apa? Kau tadi menyuruhku untuk berbicara yang keras, sekarang malah kau yang mengecilkan suaramu. Jadi siapa?
“Uhhh…Kaila Fixario”
“oh, kalau aku—tunggu, apa aku tidak slah dengar, namamu…” seketika saja suara tawa sudah melanglang seluruh ruangan di rumah ini, berbeda sekali dengan wajah kesal sang pemuda, “Oh astaga, yang benar saja, baru kali ini kutemukan lelaki dengan nama seperti itu, kau tahu itu sangat berlawanan sekali dengan apa yang tadi kau lakukan dan katakana, ahaha,”
“HAAHH BERISIK!! Bukan urusanmu jika aku memiliki nama seperti ini, lagipula ini pemberian kedua orang tuaku,” tampangnya semakin suram karena suara tawa yang diberikan tidak kunjung berhenti juga, “Panggil saja Kai, ingat itu,”
“Ahahaha…oke..oke, aku tidak akan mengejekmu lagi..pfftt..,” pemuda itu melihat semakin jengkel ke arah gadis yang baru saja ia tolong itu, ‘dasar tidak tahu terima kasih’
“Kai, panggil aku Emi…Emilia Malier,” walaupun masih sedikit jengkel, mereka berdua saling berjabat tangan, “tapi ingat, aku tidak akan berterima kasih atas apa yang kau lakukan barusan. Walaupun kau menolongku, tetap saja kau telah menghancurkan segala rencana yang kubuat,”
“Ya, ya, ya,” setengah malas Kai berdiri dari tempat duduknya, mencoba membantu Emi untuk berdiri dari tempatnya semulanya, “Apa kau bisa berjalan?”
“Yah, sedikit,” Emi berdiri dibantu oleh Kai, dengan tangan yang dipangkukan di atas bahu pemuda itu.
“Mengingat keadaanmu sekarang tidak mungkin aku meninggalkanmu sendirian dengan lukamu itu, dimana rumahmu?”
“Eh—tunggu, kau mau mengantarku?”
“Memangnya harus bagaimana lagi? Apa kau mau kutinggalkan disini, sendirian, walaupun kau meminta tolong tidak akan ada yang menolongmu mengingat sepinya jalan disini. Meski itu sampai malam, sampai tidak ada siapa-siapa hany ada binatang buas y—cukuppp!,
“Baiklah aku menurut padamu kali ini, tapi tidak lain kali, huh!” ia mengalihkan pandangannya sekali lagi, “tapi.. terima kasih,”
“Apa kau bilang?”
“Bu-bukan apa-apa, sebaiknya cepat kau antarkan aku sekarang sebelum hari semakin gelap,”
“Dasar,” setengah tersenyum melihat tingkah laku gadis yang berdiri di sampingnya itu.
“Hu-hueeehhh, ap-apa yang kau lakukan?” tiba-tiba saja Kai mengankat Emi di atas pundaknya.
“Menggendongmu, ini adalah cara terefisien yang dapat kulakukan sekarang agar  dapat dengan cepat pulang ke rumah.
“T-tapi—“
“Berhentilah bicara. Kau ini berisik sekali,”
“KAUU…..”
‘Benar-benar di luar dugaan, seharusnya pada saat seperti ini aku sudah di rumah bersama tempat tidurku yang nyaman sambil bermain game yang baru saja kubeli. Entah kenapa hal ini terjadi begitu saja. Benar-benar melenceng dari apa yang selama ini kulakukan. Yah setidaknya semua yang terjadi hari ni baik-baik saja,’
Mereka berdua berjalan menelusuri sepinya jalan yang ada walau masih terdengar percakapan seru di antara mereka. Dibilang percakapan, mungkin lebih mirip jika dibilang saling meledek satu sama lain. Begitulah kehidupan, kau tidak akan menyadari apa yang telah kau rencanakan dapat dengan mudah dibatalkan, kejadian tertentu tidak dapat kau prediksi kapan datangnya. Manis pahitnya hidup pun tidak akan bisa kita perkirakan akan dapat yang mana. Semua terjadi begitu saja. Layaknya benang yang menghubungkan kita semua dengan orang-orang dan kejadian-kejadian yang ada. Layaknya bunga mawar yang memiliki bermacam warna yang menggambarkan kehidupan yang tengah kita jalani. Layaknya tempat yang kau jadikan pijakan selama hidupmu bersama kenangan yang berlalu lalang di dalamnya.


~oOo~

Rabu, 30 April 2014

     Setiap orang haruslah taat terhadap hukum yang berlaku dalam daerah tempat tinggalnya, begitu juga aturan dan tata tertib sekolah. Berhubung saya masih pelajar dan diberi tugas untuk membuat esay itu lumayan gampang-gampang susah, makadari itu mengingat sebagai sesama pelajaran yang membutuhkan saya mau menshare lagi tugas saya. Cobalah utnuk tidak menjiplak 100% yang sudah ada, tapi pahami dan rangkai kata-kata sendiri, itu untuk pembelajaran kalian sendiri. Insyaallah bermanfaat~

No.
Pengertian Hukum dari Berbagai Segi
Penjelasan
a.
Hukum sebagai gejala social
Hukum terikat berlakunya di masyarakat, berhubungan san saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Dari kelahiran sampai kematiannya, manusia hidup bersama orang lain di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat itu memiliki  kepentingan yang didasarkan pada kebutuhan dan status sosialnya. Sebagai gejala sosial, hukum berfungsi memberikan jaminan bagi individu bahwa kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Misalnya, pada pasal-pasal 1474 dan 1513 KUH-Perdata. Ketentuan pertama memberi jaminan bagi pembeli bahwa barang yang dibeli harus diserahkan kepadanya. Sosial dan hukum adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan, karena hukum berkembang seiring berkembangnya pergaulan atau gejala sosial.

b.
Hukum sebagai segi kebudayaan

Sebagai gejala sosial, hukum menjadi aspek dari kebudayaan, seperti halnya agama, kesusilaan, adat-istiadat dan kebiasaan yang masing-masing menjadi anasir-anasir kebudayaan kita. Sebagai anasir kebudayaan maka hukum juga memperlihatkan sifat dan corak kebudayaan yang bersangkutan.
c.
Hukum sebagai kaidah (norma)

Sebagai kaidah (norma), hukum adalah himpunan petunjuk hidup berupa perintah dan larangan yang mengatur peraturan ketertiban dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat tersebut, dan jika melanggarnya dapat menimbulkan tindakan, berupa sanksi dari pemerintah
Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai hukum.












Kepatuhan Terhadap Hukum Akan Menjamin Ketertiban Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk perilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi perilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum dan pemerintahan masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi nilai hukum dan pemerintah  sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama atau tidak. 
Dalam kesehariannya, masyarakat memiliki kepentingan yang didasarkan pada kebutuhan dan status sosialnya dan tidak ingin kepentingan itu diganggu oleh orang-orang yang berkepentingan, dimana dalam hal ini memerlukan suatu aturan yang dapat mewujudkan ketertiban dengan baik dan memelihara tata tertib dalam masyarakat sehingga kepentingan tiap masyarakat dapat terjaga, maka dari itu dibuatlah hukum.
Dalam kenyataannya, hukum itu menyangkut berbagai segi kehidupan karena dimanapun dan saat kapanpun hukum pasti ada supaya kehidupan dimana masyarakat berada dapat terjaga dengan aman dan damai. Hukum dapat dikatakan sebagai gejala social, karena hukum terikat berlakunya di masyarakat, berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Dari kelahiran sampai kematiannya, manusia hidup bersama orang lain di dalam masyarakat, dimana masing-masing masyarakat itu memiliki kepentingannya sendiri.  Sebagai gejala sosial, hukum berfungsi memberikan jaminan bagi individu bahwa kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Misalnya, pada pasal-pasal 1474 dan 1513 KUH-Perdata. Ketentuan pertama memberi jaminan bagi pembeli bahwa barang yang dibeli harus diserahkan kepadanya. Hukum berkembang seiring berkembangnya pergaulan atau gejala social, karena itu hukum dan social tidak dapat terpisahkan.
Tak hanya itu, dalam segi kebudayaan hukum –hukum seperti  adat, norma, kesusilaan, agama, dan kebiasaan mengambil andil dalam membentuk kebudayaan masyarakat dalam suatu Negara atau daerah itu sendiri. Hukum juga memperlihatkan sifat dan corak kebudayaan yang bersangkutan. 
Sebagai kaidah atau norma, hukum dapat dikatakan sebagai himpunan petunjuk hidup berupa perintah dan larangan yang mengatur peraturan ketertiban dalam masyarakat dimana setiap anggota masyarakat wajib mematuhinya tak terkecuali pejabat atau aparatur hukum, dan jika melanggarnya dapat menimbulkan tindakan berupa sanksi dari pemerintah. Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai hukum.
Walau dari berbagai segi, hukum tetaplah hukum yang mengatur untuk memberikan rasa aman dimanapun itu berada. Dengan adanya hukum berbagai masalah hidup dapat teratasi. Misalnya saja masalah lalu lintas, diperlukan rambu-rambu yang dapat mengatur supaya ketertiban terjadi dan pengguna jalan dapat merasa dalam perjalanannya. Bayangkan saja jika tidak ada rambu-rambu lalu lintas di jalan, mungkin kemacetan dapat terjadi lebih lama dengan intensitas pengguna jalan yang semakin banyak. Tak hanya itu, tanpa adanya tata tertib yang mengharuskan seorang pengguna jalan memakai peralatan kendaraan yang lengkap dapat terjadi kecelakaan dimana-mana. Pastilah semua itu tidak dinginkan oleh masyarakat. Maka dari itu, sangatlah harus untuk tiap anggota masyarakat mematuhi semua hukum yang ada dimanapun dan saat kapanpun ia berada, ini dimaksudkan agar terjadi ketertiban dlam kehidupan bermasyarakat.  
Namun, dalam praktiknya tak sedikit anggota masyarakat yang tak sejalan dan tidak mencerminkan kehendak hukum yang telah ditetapkan. Banyak dari mereka yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, dengan seenaknya berbuat melanggar demi kepentingan masing-masing individu tersebut, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan dapat membuat diri mereka sendiri atau dapat melibatkan masyarakat lain dalam praktiknya, sehingga membuat keadaan menjadi resah dan tidak tertib. Agar kaidah hukum dapat diterapkan secara efektif maka harus dilengkapi dengan unsur pemaksaan (memaksa), disamping bersifat mengatur hukum juga bersifat memaksa. Dengan sifat memaksa itulah, hukum dapat memaksa satiap orang untuk mentaatinya sehingga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat dapat terpelihara. Hal ini sesuai dengan pengertian sumber hukum yang merupakan segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Ambil saja contoh kasus aksi pemotor di Jalan Sudirman yang nekat menerobos trotoar. Pada saat terjadinya, hujan deras membuat lalu lintas di Jalan Sudirman macet parah. Untuk menghindarinya, para pengendara motor memilih menerobos trotoar yang seharusnya fasilitas untuk pejalan kaki. Bayangkan saja fungsi trotoar kini menjadi jalan bagi pengguna motor, betapa belum sadarnya masyarakat akan pentingnya tata tertib. Aksi pengendara motor tak tertib ini jelas sekali membuat pejalan kaki terganggu, mereka yang seharusnya menjadi penguasa trotoar ini harus minggir kara para pemotor itu melaju kencang di atas trotoar. Tak hanya terganggu, dapat juga terjadi kecelakaan antara pejalan kaki dengan pengendara motor bila tidak hati-hati. Dengan demikian supaya pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut tidak terjadi lagi dan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi tenteram, nyaman, dan aman, masing-masing anggota masyarakat harus tunduk dan patuh dalam menaati hukum dan bersikap positif terhadap hukum. Diperlukan kesadaran hukum yang besar untuk mematuhinya.
Pada kenyataannya, sulit untuk membangun budaya hukum di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum dinegeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk perilaku yang nyata. Kita perlu mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa pertahanan budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan. Oleh karenanya sekalipun masyarakat sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu? Kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main sebagai konsekuensi hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dalam kenyataannya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesame anggota masyarakat.
Jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan tidak patuh pada hukum, hal ini dikarenakan setiap individu dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan yang saling bertentangan. Misalnya saja masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap kepentingan pribadinya, apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Misalnya saja kasus nenek berumur 55 tahun yang dibawa ke pengadilan hanya karena mengambil tiga buah kakao. Dalam sidangnya, sang nenek yang bernama Minah berkata bahwa ia mengambil kakao tersebut untuk ditanam kembali bijinya untuk menambah jumlah tanaman mkakao yang ada di kebunnya. Sang nenek pun mengaku bahwa ia mengambil tiga kakao itu dan meminta maaf kepada petugas yang memergokinya sambil memeberikan buah kakao tersebut. Namun hukum memang tidak adil, sang nenek tetap di bawa ke pengadilan dan divonis hukuman pidana 1 bulan 15 hari. Memang yang namanya pencurian tetap suatu kesalahan seberapapun besar kecilnya bila dipandang perlu ditindak lanjuti silahkan saja. Hanya saja yang jadi tak berimbang di sini adalah, seorang nenek-nenek yang hanya mencuri 3 biji kakao harus berhadapan dengan meja hijau tanpa di dampingi pengacara karena tidak adanya kemampuan finansial untuk membayar jasa pengacara. Sementara koruptor yang mengambil uang rakyat  bermilyar milyar bahkan trilyunan bebas berkeliaran tanpa penyelesaian yang jelas. Mafia-mafia peradilan, makelar-makelar kasus bisa bebas berkeliaran dan hidup bermewah-mewah. Memang benar bahwa semua itu sebagai proses peringatan supaya tidaklah menjadi contoh bagi yang lain dalam tindak pencurian. Tapi, apakah proses peradilan yang seadil-adilnya bagi koruptor dan para mafia peradilan tidak bisa ditegakkan seperti petugas hukum menindak tegas kasus seperti Ibu Minah?
Jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan. Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan budaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat dan konsisten menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri, pemerintah pun haruslah mematuhi nilai-nilai hukum yang ada. Dengan pemimpinnya yang taat pada hukum membuat masyarakat akan percaya pada pemerintahnya sendiri, dengan begitu masyarakat pula dapat mematuhi hukum yang ada. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Hukum dan pemerintahan yang berlaku dalam suatu Negara Indonesia hendaklah diterima dengan baik dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Demi terwujudnya keamanan dan kesejahteraan kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa memperselisihkan, tanpa membeakan antara hak, kewajiban, agama, suku, bangsa. Dalam hal ini, kerukunan adalah modal utama dalam kelangsungan pembangunan Negara dan bangsa, Pembangunan tidak dapat berjalan sempurna apabila tiap individu tidak mempunyai sikap saling menghargai di antara sesama. Maka dari itu, adanya saling pengertian, hormat menghormati dalam setiap melaksanakan hukum akan mewujudkan kerukunan dan ketertiban dalam kehidupan bermasayarakat.


Visitor

Know us

Blue Wings

Our Team

Sign by Danasoft - Get Your Sign

Contact us

Nama

Email *

Pesan *